Kategori

agama (3) artikel (4) bandung (6) indonesia (4) informasi (7) jurnalisme (2) know (13) Lowongan (3)
Let Me Tell
free counters

Selasa, 06 November 2012

Jurnalisme Damai untuk Negeri


Menapaki dunia jurnalistik nampaknya memang tak semudah membalikan telapak tangan, khususnya di negara yang multikulural seperti Indonesia ini. Karena setiap pemberitaan mengenai tindak kekerasan, pencemaran nama baik dan peperangan apalagi hal tersebut berkaitan dengan konflik yang mengandung unsur-unsur SARA tentu berpotensi menimbulkan efek ketegangan berkelanjutan bila media hanya bertindak sebagai "kompor".

Sosok pewarta bukanlah pembawa petaka kita tentu setuju dengan istilah tersebut, namun memang tak bisa dipungkiri kalo wartawan memang rentan dengan kesalahan-kesalahan informasi. Itulah sebabnya apabila wartawan meliput suatu permasalahan atau konflik ia dituntut untuk mengecek bahan berita yang ia dapatkan dan wajib untuk merecek kembali sebelum berita diturunkan agar terjadi berita yang cover both side (dua arah), bahkan all both side ketika suatu berita ia sajikan dengan lebih mendalam (deep) sehingga keakuratan dan kepahaman suatu masalah dapat dipertanggungjawabkan.

Jumat, 02 November 2012

Sumpah Pemuda Perlu di Episode dua kan!

Tanggal 28 Oktober telah berlalu tetapi rasa-rasanya tanggal itu tidak lagi keramat seperti dulu, ketika pemuda menorehkan sejarahnya diatas Tanah Air bukan lewat tindak kekerasan melainkan lewat permusyawarahan terpelajar yang dikenal sebagai kongres pemuda. Para pemuda melalui kongres Pemuda II yang dihadiri oleh kalangan pemuda Nusantara pada tahun 1928 telah sepakat untuk bersumpah setia menjadikan tanah air kita satu, bangsa kita satu, dan bahasa kita satu yakni Indonesia.

Betapa bersemangatnya kaum pemuda untuk membela tanah airnya, mereka haus akan kemerdekaan. Akan tetapi para pemuda ini sadar bahwa kemerdekaan tak akan pernah bisa mereka genggam bila rakyat khususnya para pemuda bangsa tidak disatukan terlebih dahulu. Alhasil lihatlah bangsa yang terkungkung dalam penjajahan Belanda selama 350 tahun itu bisa melepas tabirnya dengan gemilang hanya dalam waktu kurang dari 20 tahun saja, Indonesia pun merdeka di tahun 1945 dengan usaha para pemuda yang berjiwa nasionalisme tinggi. Maka, tak salah bila Sang Proklamator dalam pidatonya pernah berujar "Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia" dalam pidatonya yang lain Soekarno pun menggemakan suaranya dan berkata "Massa adalah penentu sejarah, “the makers of history!". Masa ini tentu saja adalah sekelompok pemuda yang terorganisir.

Jumat, 26 Oktober 2012

Takada Ahmadiyah, Takada FPI, Takada Lagi Kekerasan!

Lagi lagi kekerasan yang mengatasnamakan agama terjadi. Aktornya pun sudah dapat dipastikan tiada lain dan tiada bukan adalah salah satu ormas pembela agama terbesar di Indonesia, ya FPI dan korbannya adalah sang minoritas Ahmadiyah. Entah apa yang ada di benak FPI berniat membela Islam menumpas ke kafiran dalam Islam tapi dengan cara yg selalu saja tidak mengenakan, ujung-ujungnya pasti ada keributan. Ah padahal Nabi kita tak pernah mengajarkan untuk bertindak ringan tangan sekalipun itu dengan orang-orang kafir.

Peristiwa kali ini terjadi di Bandung membuat hati saya pelu bukan kepalang, masjid Ahmadiyah yg ketika itu sedang mengemakan suara takbir pada malam hari menjelang Idul Adha 1433 H tiba-tiba saja di hampiri oleh FPI dan meprotes kegiatan mereka. Haduh orang Takbiran kok dilarang ya?? Setelah berdiskusi beberapa lama di Mapolsek Astanaanyar kedua pihak pun mengalami jalan buntu.

Seperti yang dilansir oleh viva.co.id Utep seorang wali laskar FPI menjelaskan, karena proses negosiasi buntu tersebut, akhirnya dia memutuskan kembali ke masjid. "Saya sendiri yang merusak kaca lantaran ada oknum dari pihak Ahmadiyah yang mengancam saya menggunakan stand microphone, sehingga saya tersulut amarah," katanya. (lihat: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/362562-lempar-masjid-ahmadiyah--ini-penjelasan-fpi)

Sabtu, 20 Oktober 2012

"Haram" Menghalangi Kerja Jurnalis

Insan pers kembali mengigit jemari kebebasannya ketika upaya untuk meliput jatuhnya Hawk 200 di Kampar, Riau, beberapa waktu lalu dihalang-halangi oleh oknum TNI AU dengan cara-cara fisik bahkan sampai mencekik dan merampas perlengkapan para jurnalis yang sedang bertugas. Reformasi kembali menjadi sebuah ironi bukan? Para jurnalis pun geram dibuatnya, walaupun kemudian oknum TNI yang berbuat kasar tersebut pun meminta maaf beberapa hari kemudian tapi hal tersebut mesti diantisipasi mengingat ternyata banyak tindak kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh oknum-oknum "alat negara". Hal ini mengingatkan kembali masa kelam pers dan media dalam dominasi aparat pemerintah ketika rezim Soekarno berkuasa selalu menjadikan alasan kepentingan sekuritas sebagai tolak ukur dalam "menghakimi" orang-orang yang dianggap bersalah.

Sungguh tak terbayangkan bila kasus tersebut dianggap sepele oleh pemerintah dan TNI, dikhawatirkan tindak impunitas akan marak terjadi dalam berbagai kasus selanjutnya. Kita ingat Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin, jurnalis Harian Bernas Yogyakarta yang diserang orang tidak dikenal pada 13 Agustus 1996 dan akhirnya ia meninggal tiga hari kemudian. Polisi mengajukan Dwi Sumadji sebagai tersangka, kendati keluarga Syarifuddin yakin Dwi Sumadji bukan pelakunya. Pengadilan Negeri Bantul membebaskan Dwi Sumadji yang terbukti tidak bersalah, namun polisi tetap tidak mau mencari tersangka baru.Sejak kejadian tersebut hingga tahun 2011 Aliansi Jurnalisme Indonesia (AJI) mencatat hanya ada satu kasus saja yang bisa ditangani dengan baik oleh kepolisian yakni pembunuhan terhadap Prabangsa, jurnalis Radar Bali. Setidaknya dalam laporan terakhir AJI menyatakan ada sembilan kasus impunitas yang terjadi hingga tahun ini. (baca: http://ajiindonesia.or.id/read/article/seminar/81/diskusi-praktik-impunitas-terhadap-pembunuh-.html)

Kamis, 26 April 2012

Meracik Nilai, Meredam Gaya

Oleh: Indra Abdurohim*
Muqadimah
Pada suatu masyarakat dimana pertumbuhan nilai-nilai luhur semakin minimal sedangkan gaya hidup (lifestyle) semakin maksimal, yakni ketika persoalan lifestyle yang cenderung berkiblat ke dunia Barat yang harus selalu up to date dijadikan alasan segalanya dalam berkehidupan.Ketika itulah aspek nilai semakin terkikis habis, perhatian agamawan, ilmuan dan pejabat publik sekalipun menjadi barang langka.
Ilustrasi hubungan barat dengan Islam
(
http://4.bp.blogspot.com/_GoX8evc4nW4/SNysOlkrX-I
/AAAAAAAAAZM/Oi9RjcZUQlY/s1600/gambar%2Bkartun.JPG
 )
Demikian menjamurnya gaya kehidupan modern yang menawarkan budaya tampilan sehingga memaksa bangsa ini menjadi konsumennya. Padahal bila kita cermati gaya hidup kaula muda saat ini khususnya kalangan remaja, seseorang yang dikatakan “gaul” ialah orang berpenampilan sempurna diluar, memakai celan jeans dan berpakaian “hot” atau seksi seperti yang diperagakan media televisi (TV) belakangan ini. Pola makan dan minumnya pun haruslah mengikuti pola periklanan di TV yang kebanyakan didominasi merk-merk asing.
Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa persoalan budaya modern, terutama dalam gaya hidup ialah persoalan “fun, food, and fashion” (Kesenangan, makanan, dan busana) seperti halnya yang telah diungkap oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam “Megatrends 2000”.
Fokus budaya modern seperti itulah yang memang telah suskes menggaet gaya hidup masyarakat Indonesia, terutama kaula muda. Idi Subandi dalam “Budaya Populer Sebagai Komunikasi” mengatakan bahwa “kini adalah abad gaya hidup, dimana penampilan adalah segala-galanya”.Penampilan-penampilan ini mencakup dalam; penampilan fashion seperti mode berpakaian; penampilan dalam kesenangan seperti musik, film, dll; serta penampilan makanan yang dianggap trendi seperti Mc Donald, Coca cola, dsb.Inilah yang kemudian Subandi istilahkan dengan “Kamu bergaya, maka kamu ada!”Sebuah plesetan dari “Cogitu Ergo Sum”-nya Descartes.

Senin, 02 Januari 2012

Media dan Bocah-bocah

Oleh : Indra Abdurohim
(seorang penjaga warnet)

Seorang anak membuka akun Facebook-nya
             Membicarakan media tentu merupakan hal yang sudah tak asing baik di mata maupun dalam indra visual di keseharian kita. Media bagaikan seorang kekasih yang intim memadu informasi bagi khlayak, begitu setia memberikan berita  update setiap hari. Tak hanya itu, ia pun begitu memanjakan kita dengan berbagai sarana dari mulai program-program hiburan di Televisi hingga video berbau serampangan di internet.
Media khususnya internet menjadikan semua hal tersebut terasa begitu mudah untuk diakses, mulanya memang media yang memiliki perkembangan sarana hiburan, berita dan informasi yang cepat ini memberikan dampak positif bagi khalayak banyak. Namun kemudian apa yang terjadi? media yang bebas nilai itu cukup membuat gemas dan cemas orang banyak terutama para orang tua. Mereka khawatir anak mereka menjadi ketergantungan oleh apa-apa yang disuguhkan media maya.
Media maya seolah menjadi momok monster mengerikan bagi orang tua, karena cukup sulit untuk diabaikan oleh bocah-bocah generasi sekarang. Media maya seolah menjadi morphin dikehidupan interaksi sosial, padahal mereka adalah anak-anak yang baru saja mengenyam pendidikan sekolah dasar. Ya, mereka hanyalah bocah-bocah yang sedang tinggi hasrat ingin tahunya saja. Namun hal inilah yang menjadikan bocah-bocah tersebut berbeda dengan generasi sebelumnya, wajah bersosial mereka jauh berubah : akrab dengan games online, facebook, youtube, hingga berbagai hal lainnya yang tak banyak content-nya bersifat kasar dan “xxx”.

Iklan

Search and download it!

Berita terkini

wibiya widget