Kategori

agama (3) artikel (4) bandung (6) indonesia (4) informasi (7) jurnalisme (2) know (13) Lowongan (3)
Let Me Tell
free counters

Selasa, 06 November 2012

Jurnalisme Damai untuk Negeri


Menapaki dunia jurnalistik nampaknya memang tak semudah membalikan telapak tangan, khususnya di negara yang multikulural seperti Indonesia ini. Karena setiap pemberitaan mengenai tindak kekerasan, pencemaran nama baik dan peperangan apalagi hal tersebut berkaitan dengan konflik yang mengandung unsur-unsur SARA tentu berpotensi menimbulkan efek ketegangan berkelanjutan bila media hanya bertindak sebagai "kompor".

Sosok pewarta bukanlah pembawa petaka kita tentu setuju dengan istilah tersebut, namun memang tak bisa dipungkiri kalo wartawan memang rentan dengan kesalahan-kesalahan informasi. Itulah sebabnya apabila wartawan meliput suatu permasalahan atau konflik ia dituntut untuk mengecek bahan berita yang ia dapatkan dan wajib untuk merecek kembali sebelum berita diturunkan agar terjadi berita yang cover both side (dua arah), bahkan all both side ketika suatu berita ia sajikan dengan lebih mendalam (deep) sehingga keakuratan dan kepahaman suatu masalah dapat dipertanggungjawabkan.

Dan tak berhenti sampai disitu, suatu berita dapat dikatakan baik bila ia tidak sekedar disampaikan dengan sensasional apalagi sampai bombastis serta tidak melebih-lebihkan. Dalam proses pemilihan kata dan diksi pun harus diperhatikan betul sehingga berita bisa menjadi laporan yang tidak provokatif.

Dalam sejarahnya Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan, pada 1970-an  merasa “miris” melihat pemberitaan pers ketika meliput suatu konflik mendasarkan kerja jurnalistik secara hitam putih (kalah-menang), pola kerja jurnalistik seperti ini dia sebut sebagai jurnalisme perang. Dimana pemberitaan yang dilaporkan hanya fokus terhadap seberapa banyak nyawa melayang dan gedung yang musnah akibat serangan ataupun dengan pemberian label kafir, pengkhianat, pembelot dan sebagainya terhadap orang lain atau suatu kelompok tertentu dengan harapan dapat menyulut emosi suatu agama atau etnis tertentu.

Bayangkan bila terjadi peliputan suatu konflik dimana media menyajikan berita dengan asal mencap kafir atau asal memberitakan penyerangan, maka apa yang terjadi? Yang jelas masyarakat akan menancapkan dalam benaknya rasa benci terhadap kelompok yang media cap sebagai kafir. Maka mungkin dampak terbesarnya adalah masyarakat yang tersulut amarah akan mulai menyerang, membakar dan mengusir kelompok yang mereka anggap pembelot atau kafir.

Ini berarti slogan jurnalisme yang mengatakan "Bad News Is Good News" mungkin perlu di enyahkan  pada praktik dalam melaporkan suatu peristiwa baik di media elektronik maupun cetak. Bad News mungkin bisa sangat baik untuk menggalang perhatian publik yang tertarik dengan konflik dan intrik yang disajikan, maka jangan heran berita kasak-kusuk seperti infoteinment mendapatkan tempat di masyarakat. Tapi dengan adanya berita seperti ini dampaknya akan terasa belakangan ketika pembaca atau penonton terbelah menjadi dua pihak antara pro dan kontra, mungkin ini biasa namun kemungkinan bisa berkembang lebih buruk ketika media menjelma menjadi penghasut karena gagal menyajikan informasi yang all both side.

Kebalikan dari jurnalisme perang adalah jurnalisme damai, dimana tujuan dari genre ini ialah memberikan solusi kepada masyarakat. Dengan jurnalisme ini media akan menyebarkan kecerdasan dalam menyikapi suatu permasalahan kepada masyarakat untuk beradab, bukan lagi dengan cara-cara yang biadab. Seperti halnya seorang pemancing, sang jurnalis dituntut untuk sebisa mungkin memancing ikan tanpa membuat air disekitarnya keruh, sehingga kata-kata yang di konstruksikan dalam laporan berita tidak serta merta membuat hati panas.

Jurnalisme damai juga dapat diartikan sebagai upaya untuk meluruskan hal-hal yang menyimpang dalam pemberitaan dari suatu peristiwa dan berusaha memberikan berita yang tidak menyudutkan atau mempengaruhi salah satu pihak dari peristiwa tersebut yang akan mengakibatkan pecahnya peristiwa baru dan lebih mengepentingkan aspek pemberitaan yang lebih mendorong untuk menyelesaikan peristiwa yang terjadi.

Indonesia yang penuh kebhinekaan memang rapuh dengan gesekan yang dapat dipicu oleh berbagai faktor mulai dari etnis, suku, agama dan sebagainya. Jurnalisme damai sudah seharusnya menjadi dasar dari setiap media di tanah air, agar pewarta tak hanya hadir sebagai pembawa berita belaka tapi juga sedapat mungkin menjadi solutor bangsa. Memang sudah seharusnya pewarta paham dan jeli dalam mengolah pemberitaan yang mengaplikasikan bahasa-bahasa pemersatu yang dapat mengundang empati masyarakat. Dengan begitu media bukan lagi sebagai kompor yang menghasilkan amarah-amarah baru namun dapat menjadi pembakar semangat kegotongroyongan untuk membangun negeri.


3 komentar

Indark 7 Januari 2013 pukul 21.43

cek 123

@kangparid 7 Januari 2013 pukul 21.44

tah baru ada. :)

dloen 15 Januari 2013 pukul 01.29

coba saya baca ini sebelumnya...
mngkin, pas kut seminar ttg jurnalisme damai kemaren tdk blengg...hmmmm

lamz kenal maz>>>
dtggu knjungan baliknya......

Posting Komentar

Iklan

Search and download it!

Berita terkini

wibiya widget