Oleh: Indra Abdurohim*
Muqadimah
Pada suatu
masyarakat dimana pertumbuhan nilai-nilai luhur semakin minimal sedangkan gaya
hidup (lifestyle) semakin maksimal,
yakni ketika persoalan lifestyle yang
cenderung berkiblat ke dunia Barat yang harus selalu up to date dijadikan alasan segalanya dalam berkehidupan.Ketika
itulah aspek nilai semakin terkikis habis, perhatian agamawan, ilmuan dan
pejabat publik sekalipun menjadi barang langka.
Ilustrasi hubungan barat dengan Islam ( http://4.bp.blogspot.com/_GoX8evc4nW4/SNysOlkrX-I /AAAAAAAAAZM/Oi9RjcZUQlY/s1600/gambar%2Bkartun.JPG ) |
Dengan begitu,
dapat dikatakan bahwa persoalan budaya modern, terutama dalam gaya hidup ialah
persoalan “fun, food, and fashion”
(Kesenangan, makanan, dan busana) seperti halnya yang telah diungkap oleh John
Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam “Megatrends 2000”.
Fokus budaya
modern seperti itulah yang memang telah suskes menggaet gaya hidup masyarakat
Indonesia, terutama kaula muda. Idi Subandi dalam “Budaya Populer Sebagai Komunikasi” mengatakan bahwa “kini adalah
abad gaya hidup, dimana penampilan adalah segala-galanya”.Penampilan-penampilan
ini mencakup dalam; penampilan fashion
seperti mode berpakaian; penampilan dalam kesenangan seperti musik, film, dll;
serta penampilan makanan yang dianggap trendi seperti Mc Donald, Coca cola,
dsb.Inilah yang kemudian Subandi istilahkan dengan “Kamu bergaya, maka kamu
ada!”Sebuah plesetan dari “Cogitu Ergo Sum”-nya Descartes.