Kategori

agama (3) artikel (4) bandung (6) indonesia (4) informasi (7) jurnalisme (2) know (13) Lowongan (3)
Let Me Tell
free counters

Jumat, 02 Oktober 2009

Titik Nadir Mudik

Senandung Takbir senantiasa bergema dengan syahdunya menandakan hari kemenangan telah tiba. Orang-orang berduyun-duyun pergi ke masjid dengan hati yang sumringah, serempak menggelar salat akbar yang setahun sekali, Iedul fitri telah datang.
Setelah sebulan lamanya masyarakat kaum muslim menjalankan ibadah puasa menahan lapar, dahaga dan hawa nafsu yang meraung-raung dalam tubuhnya, kini semua serasa mulai terbalas apa yang telah dilakukannya. Hal ini pun diperindah dengan berkunjungnya sanak saudara yang jauh-jauh datang dari kota untuk bersilaturahmi, mengikat kembali tali-temali yang sempat merenggang dan saling bermaaf-maafan. Damai setidaknya itu kata yang mungkin tepat dalam menggambarkan situasi seperti itu.

Maka tak heran Lebaran atau Iedul fitri menjadi acara yang sangat penting, orang-orang kota perantau rela mengantri, bermacet-macetan, berpanas-panasan di terik matahari, mengendarai motor puluhan kilometer dengan hanya untuk merayakan lebaran di kampung halamannya masing-masing. “Mudik”, ya itulah kata yang pasti kita kenal. Secara bahasa kata mudik ini ternyata berasal dari kata “udik” yang artinya hulu sungai, pegunungan, kampung/ desa, orang yang pulang kampung tersebut disebut “me-udik” kemudian dipersingkat menjadi “mudik” yang kurang lebih artinya adalah pulangnya para perantau yang mengembara (mencari nafkah) di kota untuk kembali ke asalnya.

Sekarang fenomena mudik ini menjadi salah satu tradisi religiusitas turun temurun masyrakat Indonesia dan menyerap menjadi budaya khas lebaran yang tak terkikis oleh ruang dan waktu. Fenomena bermaafan dan bersilaturahmi dapat menyimbolkan fenomena metafisik, yakni fenomena religiusitas dan komunikasi transendental antar manusia dengan Tuhannya (Habluminallah). Sehingga dapat juga dijadikan sebagai satu variabel untuk mengukur tingkat religiusitas seseorang. Salah satu konsep religiusitas dalam metodologi penelitian, misalnya, model Glock dan Stark (1989), adalah mempertanyakan apa yang diistilahkan sebagai keterlibatan ritual (ritual involvement), yaitu tingkat sejauh mana seseorang terlibat mengerjakan ritual-ritual tradisi keagamaan mereka, dan juga keterlibatan secara konsekuen (consequential involvement), yaitu tingkatan sejauh mana perilaku seseorang konsekuen dengan tradisi ajaran agamanya.
Konsekuen religi mereka pun bisa di ukur dari segi ekonomi, tapi sayangnya prinsip asas manfaat dan budaya hemat dalam ekonomi banyak dari mereka yang mengabaikan.
Uang hasil kerja keras di kota rela dihamburkan demi kepentingan-kepentingan mereka dan keluaraga. Hal itu tentu saja sangat berberangan dengan keyakinan islam seutuhnya, dimana riya (memamerkan) dan berboros-borosan atau berlebih itu dilarang dengan keras dalam Kalamullah. Tapi hal demikian itu mereka anggap perlu dengan alasan sebagai bukti betapa suksesnya mereka hidup di kota, tak sia-sia mereka hijrah ke kota selama ini. Mereka korbankan tabungan mereka, mereka belikan perhiasan yang mentereng, kendaraan bermotor yang anyar dan barang-barang yang lainnya.

Tapi positifnya semua pengorbanan itu dianggap impas ketika mereka sampai di kampung halaman bisa bercengkrama dengan sanak saudara, ayah dan bunda mereka. Semangat kebersamaan antar umat seiman mereka perlihatkan dengan berkeliling silaturahmi saling bermaafan dan berbagi sesamanya. Uang yang hanya mengalir deras di kota itu kini mulai berputar di desa-desa, walau sesaat tapi cukup untuk mensejahterakan orang desa dan sejumlah orang miskin tak lagi mengernyitkan keningnya walaupun, itu berlaku hanya sementara saja antara satu atau dua hari.

Mudik Jembatan Kumuhnya Kota
Tradisi mudik yang banyak menyedot perantau ini pun tak ayal menjadi jembatan kunci informasi dari kota untuk desa. Para perantau yang “berhasil”, berbagi berita dan cerita kesuksesan mereka ketika di kota, memberikan informasi pekerjaan yang layak di kota.

Sehingga menjadi pemicu arus urbanisasi yang kompeten setiap tahunnya, menyebabkan kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung menjadi lebih sesak lagi dengan datangnya para perantau yang mencoba menggantungkan nasibnya. Mereka berharap dengan hijrahnya dari desa ke kota bisa mendapatkan pendapatan keseharian yang lebih baik di kampungnya, padahal para migran ini tidak mempunyai skill memadai yang diperlukan di kota. Sehingga pada akhirnya banyak diantara mereka yang malah menganggur dan menambah lebih banyak lagi gelandangan.

Maka, bila melihat kedepannya patologi (kesimpangan) sosial yang terjadi di kota-kota akan lebih sulit lagi untuk di bendung karena para perantau tersebut lebih banyak yang gagal dan menjadi pengemis di kota yang menyebabkan lebih banyak lagi tempat kumuh, sehingga tingkat kriminalitas pun meninggi. Kalaupun pulang kampung mereka pasti akan merasa malu dan tidak akan pulang sebelum kesuksesan tersebut di raihnya.

Dengan begitu hendaknya semangat bersilaturahmi, bermaafan dan berbagi di hari lebaran seharusnya dapat lebih ditingkatkan dan tak hanya sekedar menjadi fenomena tahunan belaka. Menjadikan lebaran sebagai akar yang kuat dan menumbuhkan pohon sosial yang penuh nilai dan makna yang solid dan peduli serta menjadikannya budaya kehidupan sehari-hari. Mungkin dengan begitu sedikitnya dapat mengimbangi patologi sosial yang terjadi di kota.

Iklan

Search and download it!

Berita terkini

wibiya widget