Insan pers kembali mengigit jemari kebebasannya ketika upaya untuk meliput jatuhnya Hawk 200 di Kampar, Riau, beberapa waktu lalu dihalang-halangi oleh oknum TNI AU dengan cara-cara fisik bahkan sampai mencekik dan merampas perlengkapan para jurnalis yang sedang bertugas. Reformasi kembali menjadi sebuah ironi bukan? Para jurnalis pun geram dibuatnya, walaupun kemudian oknum TNI yang berbuat kasar tersebut pun meminta maaf beberapa hari kemudian tapi hal tersebut mesti diantisipasi mengingat ternyata banyak tindak kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh oknum-oknum "alat negara". Hal ini mengingatkan kembali masa kelam pers dan media dalam dominasi aparat pemerintah ketika rezim Soekarno berkuasa selalu menjadikan alasan kepentingan sekuritas sebagai tolak ukur dalam "menghakimi" orang-orang yang dianggap bersalah.
Sungguh tak terbayangkan bila kasus tersebut dianggap sepele oleh pemerintah dan TNI, dikhawatirkan tindak impunitas akan marak terjadi dalam berbagai kasus selanjutnya. Kita ingat Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin, jurnalis Harian Bernas
Yogyakarta yang diserang orang tidak dikenal pada 13 Agustus 1996 dan akhirnya ia meninggal tiga hari kemudian. Polisi mengajukan Dwi Sumadji sebagai tersangka,
kendati keluarga Syarifuddin yakin Dwi Sumadji bukan pelakunya. Pengadilan
Negeri Bantul membebaskan Dwi Sumadji yang terbukti tidak bersalah, namun
polisi tetap tidak mau mencari tersangka baru.Sejak kejadian tersebut hingga tahun 2011 Aliansi Jurnalisme Indonesia (AJI) mencatat hanya ada satu kasus saja yang bisa ditangani dengan baik oleh kepolisian yakni pembunuhan terhadap Prabangsa, jurnalis Radar Bali. Setidaknya dalam laporan terakhir AJI menyatakan ada sembilan kasus impunitas yang terjadi hingga tahun ini. (baca: http://ajiindonesia.or.id/read/article/seminar/81/diskusi-praktik-impunitas-terhadap-pembunuh-.html)
Padahal berbagai tindakan yang mengahalang-halangi kegiatan jurnalis apalagi sampai memukul dan mencekik merupakan bentuk pelanggaran UU
Pers No 40/1999 pasal 4 ayat (2) yang berbunyi Terhadap pers nasional
tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran.
Pelanggaran pasal ini diancam dengan hukuman penjara 2 tahun atau denda
Rp 500 juta, seperti tercantum pada pasal 18 ayat (1) yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja dan melakukan
tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Hal tersebut bukan tanpa alasan bahwa jurnalis dilindungi oleh Undang-undang melainkan agar terciptanya pemerintahan dan negara yang transparan sehingga masyarakat sebagai "atasan" dapat mengetahui baik itu hal-hal yang sifatnya baik atau buruk sekalipun. Dengan terbangunnya kondisi pemerintah yang transparan maka akan membuka lebar keran partisipasi publik untuk memberikan sumbangsih yang lebih berarti bagi berjalannya roda kehidupan Tanah Air agar berjalan secara efektif dan efisien. Pemerintah pun akan ada yang mengawasi sehingga tidak akan kebablasan dalam menjalankan pemerintahannya.
Dengan menyikapi peristiwa tersebut, dapat dijadikan bahan renungan bersama bahwa siapapun termasuk aparatur pemerintah dan Negara adalah haram hukumnya menghalang-halangi kinerja jurnalis karena mereka adalah jendela informasi bagi masyarakat. Pers selain bertindak untuk mengusung kebebasan dan demokrasi di Republik ini juga berperan penting dalam mencerdaskan bangsa.
Tapi insan pers dan media yang dilindungi tersebut bukan berarti bisa bertindak semaunya sendiri, karena pers memilik kode etik yang mesti dipahami dan di taati bersama. Karena kalau tidak masyarakatlah yang kemudian akan dirugikan dan mundurlah pula roda pemerintahan kita.
Tapi insan pers dan media yang dilindungi tersebut bukan berarti bisa bertindak semaunya sendiri, karena pers memilik kode etik yang mesti dipahami dan di taati bersama. Karena kalau tidak masyarakatlah yang kemudian akan dirugikan dan mundurlah pula roda pemerintahan kita.
0 komentar
Posting Komentar