Oleh : Indra Abdurohim
(seorang penjaga warnet)
Membicarakan media
tentu merupakan hal yang sudah tak asing baik di mata maupun dalam indra visual
di keseharian kita. Media bagaikan seorang kekasih yang intim memadu informasi
bagi khlayak, begitu setia memberikan berita update setiap hari. Tak hanya itu, ia pun begitu memanjakan kita
dengan berbagai sarana dari mulai program-program hiburan di Televisi hingga video
berbau serampangan di internet.
(seorang penjaga warnet)
Seorang anak membuka akun Facebook-nya |
Media
khususnya internet menjadikan semua hal tersebut terasa begitu mudah untuk
diakses, mulanya memang media yang memiliki perkembangan sarana hiburan, berita
dan informasi yang cepat ini memberikan dampak positif bagi khalayak banyak.
Namun kemudian apa yang terjadi? media yang bebas nilai itu cukup membuat gemas
dan cemas orang banyak terutama para orang tua. Mereka khawatir anak mereka
menjadi ketergantungan oleh apa-apa yang disuguhkan media maya.
Media maya
seolah menjadi momok monster mengerikan bagi orang tua, karena cukup sulit untuk
diabaikan oleh bocah-bocah generasi sekarang. Media maya seolah menjadi morphin
dikehidupan interaksi sosial, padahal mereka adalah anak-anak yang baru saja
mengenyam pendidikan sekolah dasar. Ya, mereka hanyalah bocah-bocah yang sedang
tinggi hasrat ingin tahunya saja. Namun hal inilah yang menjadikan bocah-bocah
tersebut berbeda dengan generasi sebelumnya, wajah bersosial mereka jauh berubah
: akrab dengan games online,
facebook, youtube, hingga berbagai hal lainnya yang tak banyak content-nya bersifat kasar dan “xxx”.
Maka akibatnya
Bocah-bocah yang dalam masanya masih gemar dengan sikap duplikasi itu akan
dengan gamblang meniru segala tindak tanduk yang dilihatnya, yang mereka anggap
“keren” atau “lucu”. Coba perhatikan bagaimana mereka berinteraksi sesama teman
sebayanya, perkataan “kebun binatang” sering terdengar menggesek telinga bukan?
Oleh sebab itu tak heran bila belakangan banyak terjadi berita mengenai
penganiyaan anak oleh teman-temannya sendiri, seperti yang telah dialami
seorang siswi kelas 1 SD Quntum yang dianiaya oleh seniornya kelas 4 pada
oktober 2011 lalu.
Dengan
demikian orang tua dituntut harus sigap dalam menangani bocah-bocah mereka,
jangan sampai ketinggalan jaman dan berpikir kolot dalam menangani proses
pergaulan bocah-bocah tersebut.
Disinilah perlu ditanamkan rasa melek media yang sehat untuk bocah-bocah
agar mereka bisa memisahkan berbagai informasi dan cara bergaul diantara
sebayanya dengan baik, sehingga proses pendewasaan dini tidak terjadi.
Mungkin banyak
yang belum menyadari bahwa mengkategorikan bocah-bocah (termasuk remaja) sebagai
sebuah konseptual yang berbeda belumlah lama. Seperti halnya dinyatakan Dennis dan Pease dalam bukunya Children and the Media
(New Jersey:
Transaction):[1]
While children are mentioned in the Bible and in the writings of
Plato, the idea that they ought to be protected catered to and nurtured is a
fairly recent notion in public discourse.
That they are a constituency of the media in all of its functions—news and information, opinion,
entertainment and marketing—is itself rather revolutionary (1996: xxi).
Anak-anak generasi penerus bangsa ini memang harus dilindungi dengan baik
oleh pendidikan yang tentunya memerlukan support
pemerintah. Bahkan bila dianggap perlu Dinas Pendidikan memasukan mata
pelajaran media agar mereka dapat melek dengan benar. Bila hal ini tidak
dilakukan maka dikhawatirkan anak hanya akan menjadi target audiens yang empuk
bagi berbagai fasilitas ataupun produk yang ditawarkan di dunia online.
Media sosial pun menjadi ancaman tersendiri ketika hal tersebut tidak
dapat terpenuhi. Seperti yang telah diteliti di Eropa. Dari 14 (media sosial) yang diuji, hanya
dua (Bebo dan MySpace) yang memiliki kontrol yang diperlukan agar “orang asing
potensial” tidak bisa mendapatkan akses. Pihak berwenang di Brussels
mengatakan, jumlah anak-anak yang menggunakan internet dan berlangganan ke
situs jaringan sosial tumbuh. Saat ini 77 persen dari anak usia 13 hingga 16, dan 38 persen dari
mereka berusia 9 sampai 12, aktif ke situs jaringan sosial.[2]
Dalam
hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa selain dari Bebo dan Myspace 12
lainnya (termasuk facebook) tidaklah
aman bagi anak-anak, padahal situs pertemanan ini sedang menjadi trend di
Indonesia yang didaulat menjadi rangking ke-2 dunia pengguna facebook setelah
Amerika versi socialbakers.com
Budaya melek
media kini seharusnya tak lagi hanya di canangkan untuk para mahasiswa, pegawai,
guru, PNS, dan orang dewasa lainnya yang memiliki kebutuhan akan tetapi juga
harus di sisihkan untuk bocah-bocah seusia sekolah dasar yang memiliki
kepentingan entah itu karena pembelajaran ataupun sekedar bermain game online. Hal tersebut demi
menciptakan generasi penerus yang cerdas memanfaatkan media bukan malah menjadi
korban media.
Sebagai umat
muslim dalam mendidik anak ada sebuah hadits yang menjadi sebuah landasan, yak bilamana manusia telah meninggal dunia, terputuslah
amalnya kecuali tiga hal: (1) sedekah jariah; (2) ilmu yang bermanfaat; (3) anak shalih yang mendoakannya. (HR
al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud). J
[1] lihat : http://budiirawanto.multiply.com/journal/item/12/Media_dan_Anak_Sekadar_Mengelola_ Kecemasan?
&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem (diakses pada 1 Januari
2012)
[2] lihat: http://www.hidayatullah.com/read/17637/22/
06/2011/facebook-kurang-melindungi-anak-anak.html(diakses pada 1 Januari
2012)
[3] Lihat:
http://www.socialbakers.com/facebook-statistics/?interval=last-month#chart-inter
vals (diakses pada 2 Januari 2012)
0 komentar
Posting Komentar