Kategori

agama (3) artikel (4) bandung (6) indonesia (4) informasi (7) jurnalisme (2) know (13) Lowongan (3)
Let Me Tell
free counters

Senin, 25 Oktober 2010

Sistem Komunikasi politik

1. Komunitas Politik
Community vs Society
Community atau komunitas berkaitan dengan pengelompokan manusia yang diikat oleh kesamaan ikatan yang bersifat emosional (emotional attachment), misalnya Ummat Islam, Paguyuban Warga Pacitan, Kekerabatan Orang Melayu, dsb.
Society yg juga berarti masyarakat, berkaitan dengan pengelompokan manusia yang diikat oleh kesamaan ikatan yang bersifat material atau fisikal (material attachment), misalnya: Masyarakat Kota, Warga Kampung Bugis, Masyarakat Kampung Baru, dsb.
Perbedaan taraf kemajuan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.
Masyarakat politik yg berkembang:
•Makin banyak jenis tantangan yang dihadapi masyarakat, makin banyak fungsi-fungsi baru yang harus dijalankannya, maka makin beraneka ragam pula struktur atau lembaga yang diciptakan untuk menangani fungsi-fungsi itu.
•Yang menjadi pusat perhatian kita dalam mempelajari perkembangan masyarakat politik ini adalah diferensiasi struktural yang berkaitan dengan penyelesaian konflik. Bagaimana masyarakat menciptakan struktur-struktur baru untuk menyelesaikan konflik secara lebih efektif?
•Karena, konflik umumnya terjadi terutama pada saat masyarakat harus membagi hasil atau perolehan kerja bersama.
•Dalam politik kita mengenal tentang pengalokasian nilai-nilai yang otoritatif, sebagaimana dikemukakan oleh David Easton.

Ada 3 cara melembagakan proses pembagian atau alokasi dalam masyarakat:
Secara adat, yaitu kesepakatan bersama secara adat turun-temurun bahwa, misalnya, orang-orang tertentu memperoleh bagian lebih banyak. Pembagian atau alokasi secara adat ini mencerminkan konsensus atau kesepakatan di antara semua anggota masyarakat, bukan karena tunduk pada kehendak seseorang.
Secara tukar-menukar, yaitu transaksi yang terjadi di mana satu orang menyerahkan sesuatu yang bernilai untuk dipertukarkan dengan barang berharga lainnya. Penjatahan secara inipun berdasar persetujuan atau kesukarelaan. Pihak-pihak yang bertransaksi tidak ada yang tunduk pada yang lain.
Secara perintah, yaitu barang-barang berharga dibagi-bagikan menurut kemauan atau perintah seseorang. Dalam proses penjatahan secara perintah, satu pihak harus tunduk pada kemauan pihak lain.
Komunitas politik berkaitan dg:
•Cara pembagian secara perintah inilah yang bermakna secara politik. Cara penjatahan ini melibatkan hubungan kekuasaan, sesuatu yang menjadi inti kehidupan politik. Karenanya penjatahan secara perintah bisa disebut penjatahan secara politik.
•Dikaitkan dengan proses penjatahan politik, masalah itu menjadi “bagaimana memperoleh keabsahan atas kekuasaan yang diterapkan dalam proses penjatahan politik” atau “bagaimana membuat anggota masyarakat mau menerima proses penjatahan politik itu sebagai sesuatu yang sah”.
•Jadi komunitas politik yang kita pelajari adalah bagaimana masyarakat mengembangkan lembaga-lembaga atau struktur-struktur untuk menangani konflik yang timbul akibat dari proses penjatahan secara politik itu.
Komunitas Politik Tradisional
Pola kehidupan bergantung kepada berkah alam, untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau subsistence.
Hubungan antar kelompok diatur atas dasar garis keturunan atau kekerabatan.
Konflik atau keresahan yang terjadi antar-warga diselesaikan dengan membentuk dewan peradilan, yang umumnya terdiri dari orang tua-tua dari berbagai garis keturunan penting (primus inter pares).
Ketika satu garis keturunan memperoleh prestise yang tinggi dan pemimpin garis keturunan itu menjadi ketua kelompok atau ketua suku, maka mulailah lahir pemerintahan.
Munculnya pemerintahan.
•Terbentuknya kerangka dasar pertama bagi kehidupan politik, yaitu munculnya suatu pemerintahan yang terdiri dari seorang kepala pemerintahan, yang bertanggung-jawab pada dewan yang anggota-anggotanya mewakili bagian-bagian dari masyarakat, yaitu kelompok-kelompok garis keturunan itu. Ini adalah diferensiasi struktural yang paling sederhana, karena pada masa itu sang ketua suku masih merangkap banyak fungsi.
•David Apter mendefinisikan pemerintah sebagai: “sekelompok individu yang menjalankan wewenang yang sah dan yang membuat dan menerapkan keputusan-keputusan demi melindungi dan membantu masyarakat menyesuaikan diri dengan lingkungannya”.
•Jadi, pemerintah tidak hanya berfungsi melindungi masyarakat, tetapi juga mengatur agar, misalnya, masyarakat bisa memproduksi makanan lebih banyak dalam menghadapi paceklik atau masyarakat meningkatkan mutu pengetahuannya, dan sebagainya.
Sistem Kekuasaan dlm Komunitas Tradisional (menurut Weber)
Sistem kekuasaan patriarkal; urusan kekuasaan cukup diselenggarakan oleh seorang patriarch, yaitu pemimpin laki-laki tertua.
Sistem kekuasaan patrimonial; kekuasaan oleh aparat birokrasi tradisional di bawah kendali seorang patriarch.
Sistem kekuasaan feudal; kekuasaan oleh para adipati atau para tuan tanah di bawah kendali seorang raja.
2. Otoritas
Otoritas adalah sebuah bentuk kekuasaan seseorang atas diri orang lain. Pada waktu seseorang memiliki otoritas, misalnya di dalam lingkup pekerjaan tertentu, maka kekuasaan menjadi mutlak miliknya. Baik itu kekuasaan untuk mengatur, mengontrol atau memutuskan sesuatu. Tentu saja jika digunakan oleh orang yang tidak tepat atau memiliki motivasi yang tidak baik, maka otoritas tersebut tidak berfaedah untuk membangun sebuah sistem malah meruntuhkannya. Bukan hanya itu, otoritas di tangan orang yang tidak tepat, akan dapat disalahgunakan untuk menjajah orang lain, mencari keuntungan sendiri dan menghasilkan perlakuan atau tindakan semena-mena. Betapa baiknya otoritas untuk tujuan yang bagik dan betapa buruknya otoritas untuk tujuan yang menyimpang. Otoritas haruslah berada di tangan orang yang tepat, yang mampu menggunakannya secara bertanggung-jawab.

Konsep Otoritas


OTORITAS (=al-Sulthah) secara etimologis bahasa Arab berarti “pengaturan, penguasaan, kemampuan dan kewenangan”.[1] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa Otoritas adalah: 1. Kekuasaan sah yang diberikan kepada suatu lembaga dalam masyarakat yang memungkinkan para pejabatnya menjalankan fungsinya; 2. Hak untuk bertindak; 3. Kekuasaan; wewenang; 4. Hak melakukan tindakan atau hak untuk membuat peraturan untuk memerintah orang lain.[2]

Dan pengertian Otoritas secara terminologis (dengan O kapital) terkadang menimbulkan kesalah-pahaman, sebagaimana tersurat dalam makna etimologis bahasa Indonesia di atas. Seperti ditekankan oleh Michel Foucault, meskipun terlihat secara tegas dalam praktek-praktek politik kenegaraan, tetapi Otoritas —dalam prakteknya— tidak terbatasi oleh ketundukan satu pihak terhadap pihak tertentu (dalam hal ini adalah penguasa); sebagaimana tidak termanifestasikan dalam sebuah bentuk praktek tertentu, misalnya: kekerasan fisik dan atau non fisik. Otoritas menyebar ke dalam seluruh unsur dan tataran masyarakat: dari penguasa kepada rakyatnya, dari bapak kepada anaknya, dari guru kepada muridnya, dan akhirnya dari agamawan kepada pengikutnya. Otoritas adalah tatanan yang mengatur hubungan strategis antara sebuah pihak dengan pihak lain dalam proses produksi sikap dan pikiran, atau dengan bahasa lain: memproduksi realitas. Sedangkan hubungan strategis yang dimaksudkan di sini adalah hubungan kuasa dan ketundukan, yang membuat pihak lain harus menerima realitas yang digariskan, dengan atau tanpa adanya perlawanan.[3]

Otoritas Politik

LEBIH khusus berbicara tentang politik, berarti juga tentang negara. Sebab, seperti sudah dimaklumi, politik merupakan sebuah sistem atau kumpulan kebijakan dasar dalam mengatur negara.

Secara etimologis, politik (dalam bahasa Yunani) berarti “mengatur kota”, maksud dari kota adalah negara. Pengaturan kota di sini bisa melalui partisipasi “para warga negara” dalam jajak pendapat dan pengambilan keputusan, dalam hal ini sarana mereka adalah membalas pendapat dengan pendapat.

Makna tersebut tidak berbeda dengan makna politik saat ini. Tetapi yang jelas bahwa negara modern lebih besar daripada “kota”, sehingga —tentu saja— lebih kompleks, bersamaan dengan tugas-tugas dan fungsi-fungsinya yang lebih luas. Tidak ada salahnya kalau kita meletakkan kata “negara” pada posisi “kota”, pada definisi di atas, kita bisa mengatakan: politik adalah mengatur masalah-masalah negara.[20]
Masalah-masalah negara sangat banyak dan bercabang-cabang, di antaranya:
- Masalah-masalah bangsa: menjaga batas-batas, kesatuan tanah air, rakyat dll.
- Masalah-masalah umat: kepentingan-kepentingan ekonomi, independensi politik tradisi kebudayaanya dll.

Termasuk masalah-masalah negara sebagai institusi yang mewakili umat dalam menjalankan kekuasaan adalah menjaga keamanan, mewujudkan keadilan, mencanangkan kemajuan, perkembangan untuk kemudian merealisasikannya, serta menjalin hubungan dengan negara-negara lain guna menjaga kepentingan-kepentingan eksternalnya, termasuk juga ekonomi, strategi dan lain sebagainya.

Melihat fungsi politik yang sedemikian banyak, dapat disimpulkan bahwa politik mempunyai peranan sangat signifikan dalam kehidupan. Politik, atau pengaturan masalah-masalah negara, merupakan aktivitas yang akan dapat terlaksana dengan baik melalui pemberian kebebasan kepada seluruh warga negara. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan dalam banyak hal, kebebasan berbicara, berpendapat dan kebebasan lainnya, yang tentu saja untuk kepentingan negara itu sendiri.

Dalam Islam otoritas politik dimanifestasikan dalam bentuk negara “khilafah”. Sebuah bentuk negara teokrasi yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memegang otoritas penuh, baik dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia atau agama. Di sini kita perlu membahas masalah Khilafah. Masalah khilafah akan mengalihkan perhatian kita pada masalah akar kekuasaan dan sistematisasi negara Islam. Problem khilafah sudah “merangsang” sebuah upaya yang boleh dibilang berani dari seorang pemikir Mesir Ali Abd. al-Râziq tahun 1925, yaitu sekularisasi pemikiran Islam. Di sini akan dipaparkan beberapa penjelasan awal. Terdapat tiga istilah yang perlu kita selidiki. Istilah pertama adalah “al-khalîfah”, yang dalam bahasa Prancis disebut vicaire. Istilah kedua adalah “al-imâm”, di mana secara definitif berarti, seseorang yang memimpin kaum Muslimin dalam shalat dengan menghadap Ka`bah. Bisa dikatakan bahwa, al-imâm adalah pemimpin rohani juga. Adapun istilah yang ketiga adalah “al-sulthân”, yang mempunyai arti seseorang yang menjalankan dan menangani kekuasaan dalam artian politik yang bersifat duniawi. Kita lihat, ketiga istilah ini jelas-jelas berbeda antara satu sama lain. Dua istilah pertama mengandung tanggungjawab-tanggung-jawab spiritual dan temporal, sedangkan yang ketiga berarti menjalankan atau memainkan kekuasaan yang diperoleh melalui jalan kekuatan dan berlangsung berkat adanya kekuatan tersebut. Di sinilah letak perbedaan antara al-khilâfah (=kekhalifahan) dan al-sulthanah (kesultanan=kerajaan). Kita temukan, dua hal ini seringkali bercampur aduk dan bertumpang tindih, ini dikarenakan para sultan Turki mengklaim sebagai pewaris Khilafah.[21]

Setelah satu generasi dari wafatnya Rasulullah saw., negara Islam telah menjadi kekaisaran yang sebenarnya, dan Khilafah menjadi warisan turun-temurun di awal masa pemerintahan Umayah pada tahun 660 M. Sehingga dengan otomatis Khalifah menjadi seorang kaisar seperti kaisar Persia atau kaisar Roma.

Para khalifah dan para ahli fikih “teras” berpijak pada sebuah perspektif —meskipun secara implisit— yang mengatakan bahwa khalifah merupakan pewaris hak-hak Nabi, sehingga fikih Islam nampak hanya tertarik kepada masalah khalifah berikut hak-haknya, dan sedikit sekali menaruh perhatian pada hak-hak rakyat.

Selama sejarah ke-khilafah-an Islam, penerapan politik selalu saja bertentangan dengan kepentingan-kepentingan manusia. Keadilan, harta dan otoritas keagamaan menjadi milik pribadi seorang khalifah, menjadi hak anak-anaknya dan para menterinya.

Dengan pemahaman yang salah terhadap agama dan al-Qur’an serta pandangan-pandangan tradisional dan khayalan yang tidak sebenarnya terhadap kehidupan Nabi berikut para sahabat, Khilafah kembali kepada keadaan semula, yaitu kekuasaan kabilah, di mana orang-orang Quraisy (orang-orang Umayah, Abbasiyah dan para pendukung Ali bin Abi Thalib) mulai masuk ke dalam konflik atas dasar bahwa Khilafah hanya merupakan hak anak-anak dan keturunan-keturunan mereka saja, sebab mereka termasuk dari kabilah Rasulullah saw.. Sehingga Khilafah hanya dikuasai oleh kabilah Quraisy selama sembilan abad, dimulai dari al-Khulafâ’ al-Râsyidîn, kemudian dinasti Umayah, dinasti Abbasiyah dan setelah itu dinasti Fathimiyah.

Kendati kondisi-kondisi historis dan sosial mengalami perubahan, namun Khilafah tetap hanya dimonopoli oleh kabilah Quraisy, secara sederhana, oleh banyak orang, ini dipahami sebagai perintah agama, sunnah Nabi dan syari`at Tuhan, sehingga orang-orang non-Arab tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam politik dan mengurus masalah-masalah pemerintahan. Pandangan fikih selalu menegaskan bahwa kekuasaan orang-orang non-Quraisy terhadap kaum Muslimin tidak dibenarkan. Padahal Khilafah, paling tidak menurut Sunnah, bukanlah sistem keagamaan, perubahannya menjadi sistem keagamaan hanya pada perkembangan berikutnya, yang oleh para ahli fikih dianggap sebagai “penjaga agama dan pengatur masalah-masalah dunia”. Hal ini telah melahirkan keyakinan di kalangan orang-orang awam bahwa para khalifah adalah ma`shûm dalam ucapan dan perbuatan mereka.

Aktivitas praktis pemerintahan Islam, secara umum hanya terpusat pada satu ras tertentu, dan secara khusus pada keluarga Nabi saw.. Inilah yang mendorong upaya para khalifah untuk memerangi negara-negara lain guna melindungi hak kekuasaan atau menambah kekuatan dan mengembangkan sumber penghasilan.

Walaupun tujuan ekspansi-ekspansi yang dilakukan untuk menyebarkan Islam, akan tetapi sejarah telah membuktikan bahwa itu tidak sepenuhnya benar, orang-orang Mesir, sebagai contoh, tetap memeluk agama lama mereka selama lebih dari tiga abad setelah ekspansi Islam, kemudian di Andalusia banyak dari para penduduk yang masih memeluk agama Kristen selama pemerintahan Islam yang berlangsung selama tujuh abad.[22]

Meskipun orang-orang non-Muslim tidak mendapat tekanan secara sebenarnya di bawah pemerintahan Islam di negara-negara taklukan, akan tetapi keadaan mereka tetap dibedakan dengan orang-orang Arab. Benar bahwa mereka bebas melakukan ritual-ritual keagamaan, namun mereka sama sekali tidak bebas melaksanakan hak-hak polilik atau sosial seperti membangun tempat-tempat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan secara terang-terangan, yang mana ini mengakibatkan para warga tertindas membuat aliran-aliran keagamaan khusus. Banyak dari mereka —setelah masuk Islam— mengaku-ngaku Nabi, ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan atau harapan untuk mendapat keselamatan.

Banyak dari para khalifah dengan orang-orang kepercayaannya, para menteri serta para hakimnya yang anti terhadap pendidikan atau kebudayaan luhur di luar Islam. Makanya mereka melarang pendidikan, mereka lebih suka kebodohan, mereka membatasi hak para warga negara, walau Muslim sekalipun, hanya sekedar menghafal ayat-ayat al-Qur’an dan beberapa hadis Nabi, di samping tentunya memberangus pandangan-pandangan yang bertentangan dengan ahli fikih.[23]

Demikianlah kita melihat bagaimana otoritas politik dalam negara Khilafah nampak bertentangan dengan al-Qur’an. Harus diakui bahwa prinsip-prinsip dasarnya memang banyak diambil dari al-Qur’an. Misalnya “La Hukma illâ Allah”, dari sini kemudian muncul apa yang kita kenal dengan “Hakimiyyatullah” yang seringkali diulang-ulang oleh para Khalifah —setelah masa-masa al-Khulafâ’ al-Râsyidîn— agar menjadi bagian dari agama Islam, menjadi topeng yang menutupi tujuan-tujuan pribadi mereka, dan menjustifikasi kedhaliman-kedhaliman mereka terhadap rakyat.

Padahal kata “al-hukm” dalam al-Qur’an tidak bermakna otoritas politik (=al-sulthah al-siyâsîyah), atau makna yang saat ini lagi berkembang. Kata-kata “La hukma illa Allah” dengan makna yang politis, sebenarnya bukan dari Islam, al-Qur’an juga tidak mengenalnya. Pandangan semacam ini sama seperti pandangan yang muncul di masa Mesir kuno, kemudian menyebar dalam masyarakat-masyarakat Kristen di abad-abad pertengahan.

Kata “al-hukm” dalam bahasa al-Qur’an berarti menegakkan keadilan di antara manusia [al-Nisâ’ : 58]. Di ayat lain berarti menyelesaikan perselisihan [al-Zumar : 3]. Juga berarti nasehat dan hikmah [al-Syu`arâ’ : 21]. Sama sekali tidak ada yang mempunyai arti otoritas politik.[24]
Al-Qur’an menyebutkan tentang otoritas politik dalam makna seperti yang populer saat ini dengan kata “al-amr”. Dari kata ini kemudian muncul “al-amîr”, yaitu orang yang memegang kendali kekuasaan dan pemerintahan, makanya Umar bin Khatthab menyebut dirinya dengan Amîr al-Mu’minîn (=pemimpin orang-orang beriman), ini juga dijadikan sebutan untuk dua khalifah setelahnya (Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib).[25]

Lalu apa kaitan antara politik dengan fikih? Ini merupakan pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban. Politik dan fikih sama sekali tidak sama. Politik, sebagaimana yang dijelaskan tadi merupakan sebuah sistem dalam pemerintahan. Sedangkan fikih mempunyai makna sekumpulan hukum agama. Namun dalam sejarah kita melihat, bagaimana peran politik dalam menentukan hukum-hukum agama dan penerapannya. Kita bisa berikan contoh misalnya pada masa berkuasanya rezim khilafah dalam Islam. Di mana kekuasaan politik dijadikan media paling ampuh demi terlaksananya hukum-hukum agama.

Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya kalau kita membahas masalah lain yang memang berhubungan erat dengan masalah fikih. Masalah yang dimaksud adalah apa yang oleh kaum Muslimin disebut: Syari`ah, yaitu —dalam makna etimologis— jalan lurus menuju Tuhan. Terdapat pemahaman tradisional terhadap syari`at yang ada pada sebagian negara seperti halnya di Jazirah Arab. Syari`at merupakan sekumpulan prinsip-prinsip yang mencakup sisi-sisi peraturan (=hukum), baik hukum sipil, institusional dan hukum pidana, yang diterapkan dalam masyarakat tertentu. Kaum Muslimin menerima aturan-aturan ini dan menjalankannya seolah-olah memang berasal dari Tuhan. Aturan-aturan ini kemudian mengakar pada kesadaran keimanan (=al-wa`y al-îmânî) dan seakan-akan —melalui sebagian sarana deduktif yang diterapkan secara tegas— lahir dari teks-teks al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Demikianlah misalnya ketika seorang Muslim pergi ke Mahkamah —mahkamah keadilan— seakan-akan ia sedang berada dalam pengadilan Tuhan!! Selama berabad-abad, seperti inilah yang terjadi pada seluruh masyarakat Islam, di perkotaan dan pedesaan yang tersentuh oleh syari`at semacam ini yang menampakkan dirinya seolah-olah berasal dari Tuhan. Di sini kita perlu memberikan catatan sebelum membicarakan syari`at, bahwa ternyata syari`at tidak diterapkan di seluruh negara Islam, sebab dunia yang terdiri dari masyarakat penggembala-agrikultural senantiasa tidak tersentuh oleh syari`at Islam. Pada dasarnya syari`at terkait dengan negara sentral (=al-dawlah al-markaziyyah), yaitu negara dengan kekuasaan khalifah yang dianggap sebagai seorang hakim terbesar (hakimnya para hakim [Qâdhî al-Qudhât]), dengan kedudukannya ini seorang khalifah dapat menentukan para hakim di setiap daerah dan seterusnya. Jadi sebenarnya, penerapan syari`at dan perluasannya secara geografis tergantung pada sejauh mana kekuasaan negara sentral itu menyebar. Ada suatu masa di mana kekuasaan ini tidak menyebar secara menyeluruh dan komprehensif. Misalnya di Aljazair sebelum kemerdekaan, yaitu hingga tahun 1962, ada bagian penting negara yang di dalamnya tidak diterapkan syari`at tetapi yang diterapkan justru adalah hukum lokal (=qânûn mahallî) atau hukum adat (=qânûn `urfî) yang lahir sebelum Islam. Ini juga terjadi di daerah kabilah-kabilah besar misalnya. Namun sejak tahun 1962 hukum disatukan berdasarkan syari`at, di mana dalam penerapannya mencakup seluruh penjuru negara.

Tetapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah: bagaimana jutaan manusia bisa percaya bahwa syari`at berasal dari Tuhan? Di sini kita memerlukan metodologi dekonstruktif dan analitis–ilmiyah yang membebaskan dalam penulisan sejarah untuk menjawab pertanyaan ini. Dalam tradisi disebutkan bahwa syari`at terbentuk secara bertahap berkat peran para hakim yang bertugas mencarikan solusi bagi masalah-masalah kaum Muslimin. Metode yang mereka gunakan adalah mencari jawaban dalam al-Qur’an guna mencari dan menarik solusi, yaitu hukum atau keputusan final dengan salah satu bentuk yang disimpulkan dari al-Qur’an. Hukum-hukum ini nantinya akan dikumpulkan supaya menjadi sekumpulan hukum peradilan dalam jumlah yang cukup besar selama tiga abad pertama Hijriah. Teks-teks fikih–peradilan (=al-nusûsh al-fiqhiyyah - al-qadlâ’iyyah) ini dinisbatkan kepada empat pendiri mazhab: Malik bin Anas, Abu Hanîfah, al-Syâfi`î dan Ahmad bin Hanbal. Hukum-hukum ini telah dijaga oleh tradisi dari generasi ke generasi hingga saat ini. Dari sini kemudian lahir empat aliran fikih, yaitu Malikiyah, Hanafiyah, Syâfi`îyah dan Hanbaliyah. Di samping itu, tentu saja aliran-aliran Syi`ah.[26]

Berdasarkan uraian di atas, kita bisa melihat bagaimana proses percampuradukan antara Syari`at dan Fikih. Syari`at yang pada awalnya, bahkan menurut teks al-Qur’an sendiri, mempunyai makna metode (=al-manhaj), atau jalan (=al-sabîl, al-tharîq). Makna ini juga kita bisa dilihat di kamus-kamus bahasa Arab (=ma`âjim al-lughah al-`arabiyyah), namun lama-kelamaan kata syari`at lalu meluas dan mencakup hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Kemudian mengalami perubahan makna dan meluas lagi sehingga mencakup pendapat-pendapat para ahli fikih, malah kadang-kadang terjadi semacam pertentangan atau benturan antara satu ulama dan ulama lainnya dalam masalah yang sama.
Sedangkan fikih merupakan pendapat-pendapat manusia yang tidak suci dan sama sekali jauh dari unsur `Ishmah. Mendalami fikih berarti mendalami pendapat-pendapat manusia yang cukup beragam betapapun posisi atau kedudukan orang yang menyatakan pendapat tersebut. Percampuran adukan antara keduanya tentu saja tidak bisa lepas dari ulah para pemuka agama atau para ulama yang bertanggung-jawab dalam memudahkan urusan-urusan pensucian (=umûr al-taqdîs) yang rela menjadi hanya sebatas pegawai-pegawai yang tunduk di bawah Otoritas politik para penguasa.[27]

Ada sebuah hadis yang kerap kali dijadikan rujukan dalam melegitimasi otoritas politik penguasa. Dalam hadis ini disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda: Khilafah dalam umatku adalah tiga puluh tahun, kemudian setelah itu menjadi raja. Dan masih banyak riwayat lain dengan makna yang sama tapi matannya berbeda. Hadis ini oleh kalangan Ahl al-Sunnah dimaksudkan untuk melegitimasi pemerintahan Mu`awiyah sebagai raja pertama dalam Islam, sekaligus juga untuk melegitimasi para khilafah setelahnya, baik dari orang-orang dinasti Umayah, Abbasiyah dan lainnya. Padahal hadis ini banyak yang meragukan. Bahkan para ahli fikih dan ahli hadis melihat bahwa hadis-hadis yang berhubungan dengan politik merupakan hadis yang dla`îf dan mawdlû`. Akan tetapi kalau kita membaca beberapa referensi, Ahl al-Sunnah tidak hanya cukup menerimanya sebagai sebuah hadis yang benar-benar terjadi, malah dianggap termasuk dalam bingkai tanda-tanda nubuwwah yang menegaskan kenabian Muhammad saw. yang menceritakan tentang hal-hal ghaib, maksudnya perubahan khilafah menjadi raja setelah tiga puluh tahun. Jadi Mu`awiyah merupakan raja pertama dalam Islam yang mendapat legalitas keagamaan, tidak saja dengan “bai`at” melalui ijmâ` (=konsensus), sehingga tahun pengangkatannya sebagai ‘raja’ dan mundurnya Hasan dari panggung politik disebut `âm al-jamâ`ah (=tahun rekonsiliasi), akan tetapi juga sebagai tashdîq terhadap apa yang telah dikabarkan Nabi saw. melalui hadis di atas.[28]

Namun yang perlu dicatat, bahwa hal di atas tak lain hanyalah merupakan ideologi resmi negara Mu`awiyah dan negara kaum Ahl al-Sunnah secara umum, dan bahwa Ahl al-Sunnah sebenarnya melakukan hal tersebut untuk menghadapi Syî`ah dan Khawârij yang pada saat itu memang tidak mengakui legalitas pemerintahan Mu`awiyah juga pemerintahan yang datang setelahnya. Ini bisa dilihat ketika pada enam tahun terakhir kaum Khawârij menentang kekhilafahan Utsman dan `Alî setelah terjadinya arbitrasi (=al-tahkîm), sebagaimana juga kaum al-Râfidhah sebagai salah satu golongan dari Syî`ah yang menentang kekhilafahan Abu Bakar, `Umar dan `Utsmân.[29]

Demikianlah proses ketundukan agama pada otoritas politik dalam Islam. Maka, ketika para pemuka agama sudah terjerat dalam lingkaran kekuasaan, secara otomatis politik menduduki otoritas tertinggi yang dengan sangat mudah akan memperalat dan memperbudak para pemuka agama guna menentukan hukum-hukum yang sesuai dengan kehendak-kehendak politik penguasa. Al-Juwaynî sebagai seorang ulama masa klasik menyatakan bahwa otoritas politik bisa dijadikan sebagai “wasîlah” untuk jalb al-mashâlih dan daf`al-mafâsid, dan bahwa setiap muslim, secara riil, diperintah dengan apa yang diperintahkan penguasa (=rajul al-sulthah).

Hal ini bisa dipahami mengingat kata “al-sulthân” (=penguasa) sebagai pemengang otoritas politik mempunyai makna al-tasalluth, al-istibdâd, al-`unf, dan istighlâl al-ra`iyyah. Maka sifat apapun yang dimiliki seorang penguasa atau raja, mulai dari fashâhah al-lisân (=kefasihan berbicara), al-talaththuf `alâ al-ra`iyyah (=bersikap lembut pada rakyat), jahârah al-sawt (=kejelasan suara), sebenarnya ini tak lain hanyalah sekedar sentaja untuk mempengaruhi rakyatnya. Ketundukan rakyat, berarti ketaatan kepada para penguasa berikut kehendak politik mereka.[30]

3.
Rezim Polyarchy Electoralism

Pengertian rezim, meliputi keseluruhan tata aturan, prosedur pengambilan keputusan, kebijakan, struktur atau bangunan yang membentuk dan mempengaruhinya, serta mencakup keseluruhan prosesnya. Ia tidak hanya diartikan secara sempit sebagai pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang sedang berkuasa.
Rezim adalah serangkaian peraturan, baik formal (misalnya, Konstitusi) dan informal (hukum adat, norma-norma budaya atau sosial, dll) yang mengatur pelaksanaan suatu pemerintahan dan interaksinya dengan ekonomi dan masyarakat. Misalnya, Amerika Serikat mempunyai salah satu rezim tertua yang masih aktif di dunia, yang terbentuk sejak diratifikasinya Konstitusinya pada tahun 1780-an.
Secara teoretis, istilah ini tidak mengandung implikasi apapun tentang pemerintahan tertentu yang dirujuknya, dan kebanyakan ilmuwan politik menggunakannya sebagais ebuah istilah yang netral. Namun istilah ini sering digunakan dalam budaya populer dengan pengertian negatif atau menghina,[1] sebagai rujukan kepada pemerintah yang dianggap menindas, tidak demokratis atau tidak sah, sehingga dalam konteks ini, kata tersebut mengandung makna penolakan moral ataupun oposisi politik. Misalnya, kita barangkali tidak akan mendengar kata "sebuah rezim demokratis".
Ilmuwan politik Fred Judson, mendefinisikan rezim sebagai "hubungan antara negara, masyarakat, pasar, dan sisipan global".
Pengertian Sistem, Politik, dan Sistem Politik indonesia
Sistem adalah Suatu kesatuan yang terbentuk dari beberapa unsur (elemen). Unsur, Komponen, Atau bagian yang banyak ini satu sama lain berada dalam keterkaitan yang saling kait mengait dan fungsional.
Sistem dapat diartikan pula sebagai suatu yang lebih tinggi dari pada sekedar merupakan cara, tata, rencana, skema, prosedur atau metode.
Politik adalah cara yang ditentukan oleh seorang individu atau suatu kelompok untuk mencapai sesuatu.
Politik berasal dari kata “ polis” (negara kota), yang kemudian berkembang menjadi kata dan pengertian dalam barbagai bahasa. Aristoteles dalam Politics mengatakan bahwa “pengamatan pertama – tama menunjukan kepada kita bahwa setiap polis atau negara tidak lain adalah semacam asosiasi.
Sistem Politik adalah berbagai macam kegiatan dan proses dari struktur dan fungsi yang bekerja dalam suatu unit atau kesatuan (masyarakat/negara).
Menurut Almond, Sistem Politik adalah interaksi yang terjadi dalam masyarakat yang merdeka yang menjalankan fungsi integrasi dan adaptasi.
Menurut Rober A. Dahl, Sistem politik adalah pola yang tetap dari hubungan – hubungan antara manusia yang melibatkan sampai dengan tingkat tertentu, control, pengaruh, kekuasaan, ataupun wewenang.
Dapat disimpulkan bahwa sistem politik adalah mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik dalam hubungan satu sama lain yanh menunjukan suatu proses yang langsung memandang dimensi waktu (melampaui masa kini dan masa yang akan datang).
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.
Syarat-syarat sebuah negara terbagi menjadi dua, yaitu :
Syarat Primer :
  • 1. Terdapat Rakyat
  • 2. Memiliki Wilayah
  • 3. Memiliki Pemerintahan yang Berdaulat
Syarat Sekunder :
  • 1. Mendapat pengakuan Negara lain
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.

Keberadaan negara

Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya. Dalam perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi warganya.
Berbagai keputusan harus dilakukan untuk mengikat seluruh warga negara, atau hukum, baik yang merupakan penjabaran atas hal-hal yang tidak jelas dalam Konstitusi maupun untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman atau keinginan masyarakat, semua kebijakan ini tercantum dalam suatu Undang-Undang. Pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Undang-Undang haruslah dilakukan secara demokratis, yakni menghormati hak tiap orang untuk terlibat dalam pembuatan keputusan yang akan mengikat mereka itu. Seperti juga dalam organisasi biasa, akan ada orang yang mengurusi kepentingan rakyat banyak. Dalam suatu negara modern, orang-orang yang mengurusi kehidupan rakyat banyak ini dipilih secara demokratis pula.

Pengertian Negara menurut para ahli

  • Prof. Farid S.
    Negara adalah Suatu wilayah merdeka yang mendapat pengakuan negara lain serta memiliki kedaulatan.
  • Georg Jellinek
    Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
  • Georg Wilhelm Friedrich Hegel
    Negara merupakan organisasi kesusilaan yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan kemerdekaan universal
  • Roelof Krannenburg
    Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena kehendak dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.
  • Roger H. Soltau
    Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat.
  • Prof. R. Djokosoetono
    Negara adalah suatu organisasi manusia atau kumpulan manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
  • Prof. Mr. Soenarko
    Negara ialah organisasi manyarakat yang mempunyai daerah tertentu, dimana kekuasaan negara berlaku sepenuhnya sebagai sebuah kedaulatan.
  • Aristoteles
    Negara adalah perpaduan beberapa keluarga mencakupi beberapa desa, hingga pada akhirnya dapat berdiri sendiri sepenuhnya, dengan tujuan kesenangan dan kehormatan bersama.
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut.
Syarat-syarat sebuah negara terbagi menjadi dua, yaitu :
Syarat Primer :
  • 1. Terdapat Rakyat
  • 2. Memiliki Wilayah
  • 3. Memiliki Pemerintahan yang Berdaulat
Syarat Sekunder :
  • 1. Mendapat pengakuan Negara lain
Negara adalah pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini. Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Hal lain adalah apa yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada.

Keberadaan negara

Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya. Dalam perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi warganya.
Berbagai keputusan harus dilakukan untuk mengikat seluruh warga negara, atau hukum, baik yang merupakan penjabaran atas hal-hal yang tidak jelas dalam Konstitusi maupun untuk menyesuaikan terhadap perkembangan zaman atau keinginan masyarakat, semua kebijakan ini tercantum dalam suatu Undang-Undang. Pengambilan keputusan dalam proses pembentukan Undang-Undang haruslah dilakukan secara demokratis, yakni menghormati hak tiap orang untuk terlibat dalam pembuatan keputusan yang akan mengikat mereka itu. Seperti juga dalam organisasi biasa, akan ada orang yang mengurusi kepentingan rakyat banyak. Dalam suatu negara modern, orang-orang yang mengurusi kehidupan rakyat banyak ini dipilih secara demokratis pula.
INPUTS AND OUTPUTS
Dalam perspektif sistem, sistem politik adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif atau pendekatan sistem melihat keseluruhan interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni suatu unit yang relatif terpisah dari lingkungannya dan memiliki hubungan yang relatif tetap diantara elemen-elemen pembentuknya. Kehidupan politik dari perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai sudut, misalnya dengan menekankan pada kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada struktur hubungan antara berbagai lembaga atau institusi pembentuk sistem politik. Hubungan antara berbagai lembaga negara sebagai pusat kekuatan politik misalnya merupakan satu aspek, sedangkan peranan partai politik dan kelompok-kelompok penekan merupakan bagian lain dari suatu sistem politik. Dengan merubah sudut pandang maka sistem politik bisa dilihat sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga politik, dan perilaku politik.
Model sistem politik yang paling sederhana akan menguraikan masukan (input) ke dalam sistem politik, yang mengubah melalui proses politik menjadi keluaran (output). Dalam model ini masukan biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik lewat berbagai keputusan dan pelayanan publik yang diberian oleh pemerintahan untuk bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat. Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem politik adalah kemampuannya untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
Namun dengan mengingat Machiavelli maka tidak jarang efektifitas sistem politik diukur dari kemampuannya untuk mempertahankan diri dari tekanan untuk berubah. Pandangan ini tidak membedakan antara sistem politik yang demokratis dan sistem politik yang otoriter.
PENDEKATAN DALAM ANALISIS SISTEM POLITIK
Analisis Sistem Politik Menurut David Easton

Pendekatan sistem politik pada mulanya terbentuk dengan mengacu pada pendekatan yang terdapat dalam ilmu eksakta. Adapun untuk membedakan sistem politik dengan sistem yang lain maka dapat dilihat dari definisi politik itu sendiri. Sebagai suatu sistem, sistem politik memiliki ciri-ciri tertentu. Perbedaan pendapat mulai muncul ketika harus menentukan batas antara sistem politik dengan sistem lain yang terdapat dalam lingkungan sistem politik. Namun demikian, batas akan dapat dilihat apabila kita dapat memahami tindakan politik sebagai sebuah tindakan yang ingin berkaitan dengan pembuatan keputusan yang menyangkut publik.
Perbedaan sistem politik dengan sistem yang lain, tidak menjadikan jurang pemisah antara sistem politik dengan sistem yang lain. Sebuah sistem dapat menjadi input bagi sistem yang lain.
Dalam sistem politik terdapat pembagian kerja antaranggotanya. Pembagian kerja yang ada tidak akan menghancurkan sistem politik karena ada fungsi integratif dalam sistem politik.
Input, Output, dan Lingkungan dalam Sistem Politik

Input dalam sistem politik dibedakan menjadi dua, yaitu tuntutan dan dukungan. Input yang berupa tuntutan muncul sebagai konsekuensi dari kelangkaan atas berbagai sumber-sumber yang langka dalam masyarakat (kebutuhan). Input tidak akan sampai (masuk) secara baik dalam sistem politik jika tidak terorganisir secara baik. Oleh sebab itu komunikasi politik menjadi bagian penting dalam hal ini. Terdapat perbedaan tipe komunikasi politik di negara yang demokratis dengan negara yang nondemokratis. Tipe komunikasi politik ini pula yang nantinya akan membedakan besarnya peranan dari organisasi politik.
Output merupakan keputusan otoritatif (yang mengikat) dalam menjawab dan memenuhi input yang masuk. Output sering dimanfaatkan sebagai mekanisme dukungan dalam rangka memenuhi tuntutan-tuntutan yang muncul.
Lingkungan mempunyai peranan penting berupa input, baik tuntutan ataupun dukungan. Kemampuan anggota sistem politik dalam mengelola dan menanggapi desakan ataupun pengaruh lingkungan bergantung pada pengenalannya pada lingkungan itu sendiri. Lingkungan merupakan semua sistem lain yang tidak termasuk dalam sistem politik. Secara garis besar, lingkungan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan dalam (intra societal) dan lingkungan luar (extra societal).
Setidaknya ada dua kritik yang dilontarkan atas gagasan Easton, yaitu adanya anggapan bahwa pemikiran Easton terlalu teoretis sehingga sulit untuk diaplikasikan secara nyata. Selain terlalu teoretis, pemikiran Easton dianggap tidak netral karena hanya mengedepankan nilai-nilai liberal Barat dengan tanpa memperhatikan kondisi pada masyarakat yang sedang berkembang.
Pendekatan Struktural Fungsional Gabriel Almond
Pendekatan struktural fungsional merupakan alat analisis dalam mempelajari sistem politik, pada awalnya adalah pengembangan dari teori struktural fungsional dalam sosiologi. Dalam pendekatan ini, sistem politik merupakan kumpulan dari peranan-peranan yang saling berinteraksi. Menurut Almond, sistem politik adalah sistem interaksi yang terdapat dalam semua masyarakat yang bebas dan merdeka yang melaksanakan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi (baik dalam masyarakat ataupun berhadap-hadapan dengan masyarakat lainnya). Semua sistem politik memiliki persamaan karena sifat universalitas dari struktur dan fungsi politik. Mengenai fungsi politik ini, Almond membaginya dalam dua jenis, fungsi input dan output.
Terkait dengan hubungannya dengan lingkungan, perspektif yang digunakan adalah ekologis. Keuntungan dari perspektif ekologis ini adalah dapat mengarahkan perhatian kita pada isu politik yang lebih luas. Agar dapat membuat penilaian yang objektif maka kita harus menempatkan sistem politik dalam lingkungannya. Hal ini dilakukan guna mengetahui bagaimana lingkungan-lingkungan membatasi atau membantu dilakukannya sebuah pilihan politik. Sifat saling bergantung bukan hanya dalam hubungan antara kebijaksanaan dengan sarana-sarana institusional saja, namun lembaga-lembaga atau bagian dari sistem politik tersebut juga saling bergantung. Untuk dapat mengatasi pengaruh lingkungan, Almond menyebutkan enam kategori kapabilitas sistem politik, yaitu kapabilitas ekstraktif, kapabilitas regulatif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas responsif, kapabilitas domestik dan internasional.
Analisis Struktural Fungsional dalam Sistem Politik
Menurut Gabriel Almond, dalam setiap sistem politik terdapat enam struktur atau lembaga politik, yaitu kelompok kepentingan, partai politik, badan legislatif, badan eksekutif, birokrasi, dan badan peradilan. Dengan melihat keenam struktur dalam setiap sistem politik, kita dapat membandingkan suatu sistem politik dengan sistem politik yang lain. Hanya saja, perbandingan keenam struktur tersebut tidak terlalu membantu kita apabila tidak disertai dengan penelusuran dan pemahaman yang lebih jauh dari bekerjanya sistem politik tersebut.
Suatu analisis struktur menunjukkan jumlah partai politik, dewan yang terdapat dalam parlemen, sistem pemerintahan terpusat atau federal, bagaimana eksekutif, legislatif, dan yudikatif diorganisir dan secara formal dihubungkan satu dengan yang lain. Adapun analisis fungsional menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi tersebut berinteraksi untuk menghasilkan dan melaksanakan suatu kebijakan.
Input yang masuk dalam sistem politik disalurkan oleh lembaga politik, kemudian akan menghasilkan output, berupa keputusan yang sah dan mengikat yang sebelumnya melalui proses konversi. Dalam konversi terjadi interaksi antara faktor-faktor politik, baik yang bersifat individu, kelompok ataupun organisasi. Fungsi input, meliputi sosialisasi politik dan rekruitmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, dan komunikasi politik. Sedangkan fungsi output, antara lain pembuatan kebijakan, penerapan kebijakan, dan penghakiman kebijakan.
SOSIALISASI, BUDAYA POLITIK DI INDONESIA, DAN EKONOMI POLITIK INDONESIA
Sosialisasi Politik di Indonesia
Dalam kegiatan belajar ini ada tiga hal yang dikemukakan. Pertama, mengenai pengertian sosialisasi politik. Kedua, mengenai proses sosialisasi politik di Indonesia, dan ketiga, mengenai agen-agen sosialisasi politik yang berperan dalam penyebaran nilai-nilai politik ke dalam masyarakat.
Pada bagian pertama dijelaskan mengenai proses sosialisasi secara umum, kemudian juga dibahas tahapan psikologi politik, dan juga tahapan sosialisasi politik. Setelah pembahasan sosialisasi politik di Indonesia juga dibahas mengenai agen-agen sosialisasi politik
Budaya Politik di Indonesia
Klasifikasi budaya politik oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, terdiri atas budaya politik parokial, budaya politik subjek/kaula, dan budaya politik partisipan. Sedangkan budaya politik menurut Austin Ranney dibedakan atas orientasi kognitif dan preferensi politik.
Ada beberapa unsur yang berpengaruh atau melibatkan diri dalam proses pembentukan budaya politik nasional, yaitu sebagai berikut.
1. Unsur sub-budaya politik yang berbentuk budaya politik asal.
2. Aneka rupa sub-budaya politik yang berasal dari luar lingkungan tempat budaya politik asal itu berada.
3. Budaya politik nasional itu sendiri.
Tahapan perkembangan budaya politik nasional menurut Sjamsuddin, antara lain sebagai berikut (Rahman, 1998: 58).
1. Budaya politik nasional yang tengah berada dalam proses pembentukannya.
2. Budaya politik nasional yang sedang mengalami proses pematangan. Dalam tahapan ini, pada dasarnya budaya politik nasional sudah ada, tetapi masih belum matang.
3. Budaya politik nasional yang sudah mapan, yaitu budaya politik yang telah diakui keberadaannya secara nasional.
4. Ada dua sudut pandang untuk melihat budaya politik yang dikaitkan dengan struktur sosial, yaitu secara vertikal maupun horizontal. Terakhir ada tiga kelompok yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap sistem politik Indonesia, yaitu kelompok agama, kelompok suku bangsa, dan kelompok ras.
Ekonomi Politik
Ilmu ekonomi politik mempelajari tentang hubungan timbal balik antara transaksi ekonomi dengan perilaku politik. Para ahli ekonomi politik melihat bahwa dalam hubungan antara negara dan pasar terdapat struktur atau anatomi, nilai-nilai, kebutuhan, dan kepentingan yang bervariasi, yang pada gilirannya dapat menimbulkan interaksi yang beragam antara negara dengan pasar. Penjelasan singkat di atas pada dasarnya memberikan gambaran bahwa pembagian sistem ekonomi ke dalam kapitalisme dan sosialisme merupakan penyederhanaan masalah (simplifikasi). Dalam praktiknya, sejumlah negara tertentu sulit untuk dapat dimasukkan ke dalam kategori kapitalisme maupun sosialisme. Di sinilah letak pentingnya studi tentang ekonomi politik, untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh mengenai hubungan antara ekonomi dengan politik.
Kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi di mana peranan negara di dalam ekonomi minimal, sebaliknya hampir seluruh solusi terhadap masalah ekonomi diserahkan kepada pasar. Sedangkan sosialisme merupakan sistem ekonomi di mana solusi terhadap permasalahan ekonomi seluruhnya atau sebagian besar diserahkan kepada negara. Dalam sistem sosialisme, sering kali sektor swasta diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam sistem ekonomi, namun ruang geraknya dibatasi oleh ketentuan yang dibuat oleh negara sehingga peranannya di dalam proses produksi dan distribusi tidak dapat menjadi dominan sebagaimana dalam sistem kapitalisme.
Dalam konteks analisis sistem, ekonomi politik merupakan bagian dari lingkungan dalam yang mempengaruhi dinamika sistem politik. Interaksi antara ekonomi dan politik tidak terlepas dari proses input dan output di dalam sistem politik. Pengaruh ekonomi terhadap perilaku politik pada dasarnya dapat dikategorikan sebagai bagian dari proses input dalam alur sistem politik. Sebaliknya, pengaruh politik terhadap ekonomi dapat dikategorikan sebagai proses output dalam alur sistem politik. Namun, dalam kasus di mana interaksi antara pelaku ekonomi dengan pejabat politik demikian erat dalam mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan kepentingan ekonomi keduanya maka kajian ekonomi politik pun dapat meliputi bagian proses konversi dalam analisis sistem.
Dinamika Ekonomi Politik di Indonesia
Dinamika hubungan antara negara dengan pasar sejak Indonesia berdiri hingga era reformasi diwarnai oleh fluktuasi penguatan peran negara. Negara sempat memiliki pengaruh dominan di dalam sistem politik pada masa Demokrasi Terpimpin dan juga pada masa boom minyak semasa kepemimpinan Orde Baru. Di luar periode tersebut, pasar mampu mendorong negara membuat kebijakan yang memungkinkan akumulasi kapital yang cenderung lebih banyak menguntungkan para pemilik modal (investor). Kekuatan pasar yang luar biasa dalam menghadapi negara dapat ditemukan dalam kasus krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 hingga 1998.

Pemerintah

Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan hukum serta undang-undang di wilayah tertentu. Ada beberapa definisi mengenai sistem pemerintahan. Sama halnya, terdapat bermacam-macam jenis pemerintahan di dunia. Sebagai contoh: Republik, Monarki / Kerajaan, Persemakmuran (Commonwealth). Dari bentuk-bentuk utama tersebut, terdapat beragam cabang, seperti: Monarki Konstitusional, Demokrasi, dan Monarki Absolut / Mutlak.
Pengertian dan Paradigma Pemerintahan
Posted on April 28, 2008 by Pakde sofa
Pengertian dan Paradigma Pemerintahan
Secara umum filsafat dapat dirumuskan sebagai upaya manusia untuk mempelajari dan mengungkapkan pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat secara mendasar.
Objek material dari filsafat adalah manusia, sama dengan objek ilmu lainnya; yang membedakan adalah dari sudut pandang mana suatu ilmu menyoroti manusia. Tujuan filsafat adalah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, mengajukan kritik dan menilai pengetahuan ini, menemukan hakikatnya dan menerbitkan serta mengatur semuanya itu dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa kita pada pemahaman dan pemahaman membawa kita ke tindakan yang lebih layak.
Pemerintahan merupakan kegiatan memerintah yang dilakukan oleh pemerintah yang melakukan kekuasaan memerintah atas nama negara terhadap orang yang diperintah (masyarakat).
Filsafat pemerintahan tidak memberikan petunjuk teknis memerintah, tetapi memberikan pemahaman dan arah tindakan bagaimana sebaiknya melakukan kegiatan pemerintahan yang layak dan benar.
Hakikat Ilmu Pemerintahan
Ilmu Pemerintahan selain termasuk ilmu teoritis empiris, juga termasuk ilmu praktis atau ilmu terapan, karena akan langsung diterapkan kepada masyarakat.
Ilmu Pemerintahan termasuk ilmu campuran karena disamping berkembang secara teoritis menurut ilmu murni juga berkembang secara praktis (diterapkan) dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan. Ketidakjelasan antara pemerintahan sebagai ilmu dan pemerintahan sebagai praktik (seni), tidak perlu dipertentangkan, namun yang penting adalah bagaimana bisa menjadikan ilmu pemerintahan sebagai ilmu yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara sehingga negara itu dapat maju dan berkembang, masyarakatnya hidup aman, sejahtera dan damai.
Perkembangan Ilmu Pemerintahan
Studi tentang pemerintahan sudah tua umurnya yaitu, sejak zaman Tiongkok kuno, Hindu kuno dan zaman Yunani kuno sudah diajarkan praktik-praktik dan pelajaran tentang pemerintahan. Akan tetapi Prof. Mac Iver mempertentangkan apakah ilmu pemerintahan sebagai ilmu yang berdiri sendiri, karena pemerintahan baginya merupakan mitos yang tampak berubah-ubah pada berbagai ruang dan waktu.
Di Indonesia perkembangan ilmu pemerintahan sebagai lembaga sudah cukup menggembirakan namun yang menjadi masalah sekarang adalah esensi dan eksistensi ilmu pemerintahan sebagai ilmu yang dapat diandalkan belum tuntas memiliki syarat sebagai ilmu.
Dilihat sari segi tahap-tahap perkembangannya, ilmu pemerintahan telah melewati tahap klasifikasi, bahkan sudah berada pada tahap komparasi. Selanjutnya untuk menjadi ilmu, maka ilmu pemerintahan harus membangun dirinya sehingga dapat mencapai tahap kuantifikasi.
Paradigma Pemerintahan
Paradigma adalah corak berpikir baru seseorang atau sekelompok orang. Paradigma adalah seperangkat asumsi mengenai realitas atau dengan kata lain paradigma adalah suatu model atau pola yang diterima menjalankan dunia lebih baik daripada perangkat lain manapun.
Paradigma ilmu pemerintahan dari dimensi ruang (bukan dimensi waktu), sebagai berikut
1.Ilmu pemerintahan sebagai cabang ilmu filsafat.
2.Ilmu pemerintahan mengacu kepada Alquran.
3.Ilmu pemerintahan sebagai suatu seni.
4.Ilmu pemerintahan sebagai cabang ilmu politik.
5.Ilmu pemerintahan dianggap sebagai administrasi negara.
6.Ilmu pemerintahan sebagai ilmu pemerintahan yang mandiri.
Paradigma baru ilmu pemerintahan yang diusulkan oleh Taliziduhu Ndraha adalah paradigma kerakyatan, yaitu suatu paradigma yang memandang ilmu pemerintahan itu sebagai pola hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah (rakyat); dalam hal ini ditekankan pentingnya posisi rakyat sebagai yang diperintah karena rakyatlah yang memberikan mandat kepada badan/lembaga yang memerintah dan kalau diibaratkan sebuah organisasi usaha maka rakyatlah sebagai pemegang saham, sehingga pemerintah harus betul-betul memperhatikan rakyat yang diperintah (dilayani).
Sumber buku Filsafat Pemerintahan karya Drs. H. Achmad Batinggi, MPA. Drs. Muhammad Tamar, M.Ps
Pengertian pemerintah dalam suatu negara menurut Prof Miriam Budiardjo adalah: “Pengertian pemerintahan bisa diartikan sebagai bagian dari pengertian politik dalam arti umum, yang meliputi pula pengertian kebijaksanaan dan kekuatan. Bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu, serta cara melalksanakan tujuan-tujuan itu.”

Pengertian pemerintah dan pemerintahan

Pemerintah atau goverment secara etimologis berasal dari kata yunani kubeernan atau nahkoda kapal,,,,,,artinya menatap kedepan, nenentukan berbagai kebijakan yang diselenggaakan untuk mencapai tujuan masyarakat negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa yang akan datang,,, dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk menyongsong perkembanan masyarakat, serta mengelola dan mengarahkan masyarakat ketujuan yang ditetapkan . sementara, yang dimaksud dengan pemerintahan adalah menyangkut tugas dan kewenangan, sedangkan pemerintah adalah aparat.

Pemerintah dan Politik

July 25th, 2010 http://news.free4house.com/author/0 Comments
Pemerintah dan / Politik strong> Pendahuluan P
mengacu pada seperangkat prosedur yang diakui untuk melaksanakan dan mendapatkan tujuan suatu kelompok Setiap masyarakat harus memiliki sistem politik dalam rangka mempertahankan diakui prosedur untuk mengalokasikan sumber daya dihargai. Pada (1936) istilah, politik <> ilmuwan politik Harold Lasswell’s / kuat adalah yang mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Jadi, seperti agama dan keluarga, sistem politik adalah universal budaya; itu adalah lembaga sosial yang ditemukan dalam setiap masyarakat P
Kami akan fokus pada pemerintah dan politik di Amerika Serikat serta negara-negara industri lainnya dan masyarakat praindustri. Dalam studi mereka politik dan sistem politik, sosiolog prihatin dengan interaksi sosial antara individu-individu dan kelompok dan dampaknya terhadap tatanan politik yang lebih besar. Sebagai contoh, dalam mempelajari kontroversi atas pencalonan Hakim Robert Bork, sosiolog mungkin ingin berfokus pada bagaimana perubahan dalam struktur kelompok Amerika-kepentingan masyarakat banyak peningkatan suara hitam untuk calon Demokrat-selatan mempengaruhi pengambilan keputusan Howell Heflin dan senator lainnya (dan, akhirnya, hasil dari pertempuran konfirmasi Bork). Dari perspektif sosiologis, karena itu, pertanyaan mendasar adalah: bagaimana kondisi sosial suatu negara mempengaruhi kehidupan sehari-hari politik dan pemerintahan
KEKUATAN
Power merupakan inti dari suatu sistem politik?. Power dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk latihan akan seseorang atas orang lain. Untuk kata lain, jika salah satu pihak dalam suatu hubungan dapat mengontrol perilaku yang lain, bahwa individu atau kelompok adalah latihan kekuatan. hubungan Power dapat melibatkan organisasi-organisasi besar, kelompok kecil, atau bahkan orang-orang dalam asosiasi intim. Darah dan Wolfe (1960) menyusun konsep P
Ada tiga sumber dasar kekuasaan dalam sistem politik -kekuatan, pengaruh, dan otoritas Force. adalah penggunaan aktual atau ancaman paksaan untuk memaksakan kehendak seseorang pada orang lain. Ketika para pemimpin memenjarakan atau bahkan mengeksekusi para pembangkang politik, mereka menerapkan berlaku; begitu juga, adalah teroris ketika mereka merebut kedutaan atau membunuh seorang pemimpin politik. Pengaruh , di sisi lain, mengacu pada pelaksanaan kekuasaan melalui proses persuasi. Seorang warga negara dapat mengubah posisinya mengenai calon Mahkamah Agung karena editorial surat kabar, kesaksian ahli dari seorang dekan sekolah hukum di depan Komite Kehakiman Senat, atau pidato pengadukan unjuk rasa oleh aktivis politik. Dalam setiap kasus, sosiolog akan melihat upaya-upaya seperti untuk membujuk orang sebagai contoh pengaruh. Kewenangan, sumber ketiga kekuasaan, akan dibahas kemudian.
Max Weber membuat sebuah perbedaan penting antara kekuasaan yang sah dan tidak sah. Dalam arti politik, / strong> mengacu pada kepercayaan “dari rakyat bahwa pemerintah memiliki hak untuk memerintah dan bahwa warga negara harus mematuhi peraturan dan hukum pemerintah”. Tentu saja, arti dari istilah tersebut dapat diperpanjang di luar lingkup pemerintah. Amerika biasanya menerima kekuasaan orang tua, guru, dan para pemimpin agama sebagai yang sah. Sebaliknya, jika hak seorang pemimpin untuk memerintah tidak diterima oleh sebagian besar warga (seperti yang sering terjadi ketika diktator populer menggulingkan pemerintah terpilih), rezim ini akan dianggap tidak sah. Ketika mereka yang tidak memiliki legitimasi kekuasaan, mereka biasanya memakai metode koersif untuk mempertahankan kontrol atas lembaga-lembaga sosial />. P
politik kekuasaan tidak terbagi secara merata di antara semua anggota masyarakat. Bagaimana ekstrim kesenjangan ini? Tiga perspektif teoretis menjawab pertanyaan ini dalam tiga cara yang berbeda. Pertama, teori-teori Marxis menunjukkan bahwa kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang yang memiliki alat-alat produksi. Powerfull kapitalis memanipulasi pengaturan sosial dan budaya untuk meningkatkan lebih jauh kekayaan mereka dan kekuasaan, sering dengan mengorbankan tak berdaya
Kedua, teori elit kekuasaan setuju bahwa kekuasaan terkonsentrasi di tangan beberapa orang.; elit termasuk pemimpin militer, pejabat pemerintah, dan eksekutif bisnis. Kelompok ini terdiri dari orang-orang yang menempati posisi teratas dalam hirarki organisasi kami, mereka memiliki latar belakang yang sama dan berbagi minat yang sama dan tujuan. Menurut pandangan ini, organisasi manapun (bahkan negara-bangsa) memiliki built-in kecenderungan menjadi oligarki (pemerintahan oleh beberapa).
Ketiga, teori-teori pluralis menunjukkan bahwa berbagai kelompok dan kepentingan bersaing untuk politik kekuasaan. Berbeda dengan teori Marxis dan elit kekuasaan, pluralis melihat kekuasaan sebagai tersebar di antara banyak orang dan kelompok yang tidak harus setuju pada apa yang harus dilakukan. Pelobi bagi kelompok-kelompok lingkungan, misalnya, akan berjuang dengan pelobi untuk industri batubara di atas undang-undang antipollution. Dengan cara ini kehendak rakyat diterjemahkan ke dalam tindakan politik. Thurow, bagaimanapun, menunjukkan bahwa pandangan berbeda terlalu banyak telah membuat hampir tidak mungkin untuk tiba pada suatu kebijakan publik yang baik efektif dalam memecahkan masalah-masalah sosial dan memuaskan kepada kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda Otoritas / strong> mengacu pada kekuasaan yang telah dilembagakan dan diakui oleh orang terhadap siapa itu dilaksanakan. Sosiolog umumnya menggunakan istilah yang terkait dengan mereka yang memegang kekuasaan sah melalui dipilih atau diakui posisi publik. Penting untuk menekankan bahwa otoritas seseorang dibatasi oleh batasan-batasan posisi sosial tertentu. Jadi, wasit memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah hukuman harus disebut selama pertandingan sepak bola tetapi tidak memiliki kewenangan atas harga tiket ke permainan.
Max Weber (1947) menyediakan sistem klasifikasi tentang kewenangan yang telah menjadi salah satu yang paling berguna dan sering dikutip kontribusi sosiologi awal. Dia mengidentifikasi tiga tipe ideal otoritas: tradisional, hukum-rasional, dan P Tradisional Authority
Dalam sistem politik yang didasarkan pada , kekuasaan yang sah adalah yang diberikan oleh praktek adat dan diterima. Perintah atasan yang dirasa sah karena “ini adalah bagaimana hal-hal yang selalu dilakukan.” Sebagai contoh, seorang raja atau ratu diterima sebagai penguasa negara hanya berdasarkan mewarisi mahkota. raja mungkin mencintai atau membenci, kompeten atau merusak; dalam hal legitimasi, bahwa materi tidak. Untuk pemimpin tradisional, otoritas terletak pada adat, bukan karakteristik pribadi, kompetensi teknis, atau bahkan hukum tertulis
Tradisional adalah mutlak dalam banyak contoh karena penguasa mempunyai kemampuan untuk menentukan hukum dan kebijakan. Karena otoritas ini dilegitimasi oleh adat kuno, otoritas tradisional umumnya terkait dengan masyarakat praindustri. Namun bentuk kewenangan juga tampak jelas di negara-negara maju lebih. Sebagai contoh, seorang pemimpin dapat mengambil gambar memiliki bimbingan ilahi, sebagai benar dari Jepang Kaisar Hirohito, yang memerintah selama Perang Dunia II. Di sisi lain, kepemilikan dan kepemimpinan di beberapa usaha kecil, seperti toko kelontong dan restoran, bisa lewat langsung dari orang tua terhadap anak dan generasi ke generasi.
Hukum-Rasional Otoritas Power dibuat sah oleh hukum dikenal sebagai hukum-rasional / a> . Pemimpin masyarakat tersebut memperoleh otoritas mereka dari peraturan tertulis dan peraturan sistem politik. Sebagai contoh, otoritas presiden Amerika Serikat dan Kongres dilegitimasi oleh Konstitusi Amerika. Umumnya, dalam masyarakat didasarkan pada otoritas legal-rasional, pemimpin dianggap sebagai pelayan masyarakat. Mereka tidak dipandang sebagai memiliki inspirasi ilahi, sebagaimana kepala masyarakat tertentu dengan bentuk-bentuk tradisional otoritas Amerika Serikat, sebagai masyarakat yang menghargai aturan hukum, telah didefinisikan secara hukum membatasi kekuasaan pemerintah. Power ditugaskan untuk posisi, bukan kepada individu. Jadi, ketika Ronald Reagan menjadi presiden pada tahun 1981 awal, ia diasumsikan kekuasaan formal dan tugas kantor yang sebagaimana ditentukan oleh konstitusi. Ketika presiden Reagan berakhir, mereka kekuasaan dialihkan kepada penggantinya.
> Jika presiden bertindak dalam kekuatan yang sah dari kantor, tapi tidak menyukai kita, kita mungkin ingin memilih presiden baru. Tapi kita tidak akan biasanya berpendapat bahwa kekuasaan presiden tidak sah. Namun, jika seorang pejabat jelas melebihi kekuatan kantor, seperti Richard Nixon dilakukan oleh menghalangi keadilan selama investigasi dari pencurian Watergate, kekuasaan resmi mungkin mulai dilihat sebagai tidak sah. Selain itu, seperti yang sejati Nixon, orang tersebut mungkin terpaksa keluar dari kantor.
Otoritas Karismatik
Weber juga mengamati bahwa daya dapat disahkan oleh karisma individu. Istilah mengacu pada listrik buatan yang sah oleh banding luar biasa seorang pemimpin pribadi atau emosional kepada para pengikutnya atau dirinya. Karisma memungkinkan untuk memimpin atau memberi inspirasi tanpa bergantung pada aturan-aturan atau tradisi. Menariknya, wewenang tersebut berasal lebih dari keyakinan pengikut setia daripada kualitas yang sebenarnya dari pemimpin. Selama orang melihat pribadi sebagai yang memiliki kualitas yang ditetapkan kepadanya selain dari warga biasa, wewenang pemimpin akan tetap aman dan sering dipertanyakan.
Politik ilmuwan Ann Ruth Willner (1984) mencatat bahwa setiap pemimpin karismatik mengacu pada nilai-nilai, keyakinan, dan tradisi masyarakat tertentu. Aktivitas seksual mencolok lama presiden Sukarno Achmed Indonesia mengingatkan pengikutnya para dewa dalam legenda-legenda Jepang dan karena itu dianggap sebagai tanda kekuasaan dan kepahlawanan. Sebaliknya, India melihat Mahatma Gandhi selibat sebagai bukti dari disiplin diri yang super. pemimpin Karismatik juga mengasosiasikan dirinya dengan pahlawan budaya dan agama secara luas dihormati. Willner menjelaskan bagaimana Ayalollah Khomeini dari Iran terkait dirinya dengan Husein, seorang Shiile martir Muslim dan Kuba Fidel Castro terkait dirinya dengan Yesus Kristus
P Tidak seperti para penguasa tradisional, pemimpin karismatik sering menjadi terkenal dengan melanggar dengan lembaga-lembaga yang didirikan dan perubahan dramatis advokasi dalam struktur sosial. Pegangan yang kuat bahwa orang tersebut memiliki lebih dari pengikut mereka membuat lebih mudah untuk membangun gerakan protes yang menantang norma-norma dan nilai-nilai dominan masyarakat. Jadi, pemimpin karismatik seperti Yesus, Mahatma Gandhi, dan Martin Luther King semua menggunakan kekuasaan mereka untuk menekan untuk perubahan perilaku sosial yang berlaku. Tapi begitu juga Adolf Hitler, yang karismatik berbalik banding masyarakat terhadap kekerasan dan merusak berakhir.
> Sejak ia bersandar pada daya tarik satu individu, otoritas karismatik tentu jauh lebih pendek daripada hidup baik otoritas tradisional atau hukum-rasional . Akibatnya, pemimpin karismatik mungkin mencoba untuk memperkuat posisi mereka kekuasaan dengan mencari mekanisme legitimasi lain. Sebagai contoh, Fidel Castro berkuasa di Kuba pada tahun 1959 sebagai pemimpin revolusi populer. Namun dalam beberapa dekade yang mengikuti perebutan kekuasaan, Castro berdiri untuk pemilihan (tanpa oposisi) sebagai sarana untuk lebih legitimasi otoritasnya sebagai pemimpin Kuba.
Jika otoritas tersebut melampaui masa hidup pemimpin karismatik, itu harus menjalani apa yang disebut Weber rutinisasi dari -proses dengan mana kualitas kepemimpinan yang awalnya terkait dengan individu yang dimasukkan ke dalam baik tradisional atau sistem hukum-rasional. Dengan demikian, otoritas karismatik Yesus sebagai pemimpin dari gereja Kristen dipindahkan ke rasul Petrus dan kemudian ke berbagai prelates (atau paus) dari iman. Demikian pula, semangat emosional mendukung George Washington rutin ke dalam sistem konstitusional Amerika dan norma dari presiden dua-panjang. Setelah rutinisasi telah terjadi, otoritas pada akhirnya berkembang menjadi suatu bentuk tradisional atau hukum-rasional. > Sebagai telah dicatat sebelumnya, Weber digunakan tradisional, hukum-rasional, dan otoritas karismatik sebagai tipe ideal. Pada kenyataannya, pemimpin tertentu dan sistem politik menggabungkan elemen dari dua atau lebih dari bentuk-bentuk. Presiden Franklin D. Roosevelt dan John F. Kennedy memegang kekuasaan terutama melalui dasar hukum-rasional dari otoritas mereka. Pada saat yang sama, mereka pemimpin karismatik luar biasa yang memerintahkan (bohong kesetiaan pribadi sejumlah besar orang Amerika PEMERINTAH
Setiap masyarakat membentuk suatu sistem politik dengan yang diatur.. Di negara-negara industri modern, Sejumlah besar keputusan politik penting dibuat oleh unit resmi pemerintah. Lima tipe dasar pemerintah dianggap : monarki>, oligarki, kediktatoran, totalitarianisme, dan Monarki / strong> adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh seorang anggota tunggal dari keluarga kerajaan, biasanya seorang raja, ratu, atau penguasa turun-temurun. Pada waktu sebelumnya, banyak penguasa mengklaim bahwa Tuhan telah memberikan mereka hak ilahi untuk memerintah tanah mereka Biasanya, mereka diatur berdasarkan bentuk otoritas tradisional,. walaupun ini kadang-kadang disertai dengan penggunaan kekuatan. Pada 1980-an, penguasa memegang kekuasaan pemerintahan asli hanya dalam beberapa negara , seperti Monako Kebanyakan monarki memiliki sedikit daya praktis dan terutama melayani keperluan upacara.. Oligarki Sebuah / strong> adalah sebuah bentuk pemerintahan di mana aturan beberapa individu. Ini adalah agak metode lama pemerintahan yang berkembang di Yunani dan Mesir kuno Hari ini,. oligarki sering mengambil bentuk pemerintahan militer Beberapa negara berkembang di Afrika, Asia,. dan Amerika Latin yang dikuasai oleh faksi kecil perwira militer yang merebut kekuasaan secara paksa-baik rezim dari hukum yang dipilih atau dari klik-klik militer lainnya p
Sebenarnya, istilah oligarki disediakan untuk pemerintah yang dijalankan oleh beberapa individu pilih. Namun, Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina dapat diklasifikasikan sebagai oligarchies jika kita memperluas arti istilah agak. Dalam setiap kasus, kekuasaan terletak di tangan partai-berkuasa kelompok Komunis. Dalam nada yang sama, menggambar atas teori konflik, yang mungkin berpendapat bahwa banyak industri “demokratis” bangsa-bangsa dari barat benar harus dipertimbangkan oligarchies, karena hanya sedikit kuat sebenarnya aturan: pemimpin bisnis besar, pemerintah, dan militer. Kemudian, kita akan memeriksa hal ini model “elit” dari sistem politik Amerika secara lebih rinci.
Kediktatoran dan Totalitarianisme
p
Sering, kediktatoran mengembangkan kontrol atas hidup yang luar biasa seperti orang bahwa mereka disebut monarki dan totaliter. oligarchies juga memiliki potensi untuk mencapai dominasi jenis Totalitarianisme. melibatkan hampir lengkap kontrol pemerintah dan pengawasan atas seluruh aspek kehidupan sosial dan politik di masyarakat Bolt Nazi. Jerman di bawah Hitler dan Uni Soviet tahun 1980-an diklasifikasikan sebagai totaliter negara.
Politik ilmuwan Carl Friedrich dan Zbigniew Brzezinski telah mengidentifikasi ciri-ciri berjemur enam yang melambangkan negara-negara totaliter ini meliputi:.
penggunaan besar-besaran terhadap ideologi. Totaliter masyarakat menawarkan penjelasan untuk setiap bagian dari kehidupan. tujuan sosial, perilaku terhormat, bahkan musuh telah disampaikan sederhana (dan biasanya terdistorsi) istilah Sebagai contoh, Nazi menyalahkan orang-orang Yahudi untuk hampir setiap hal yang salah di Jerman atau negara lain… Kalau ada kegagalan panen akibat kekeringan, itu pasti akan dilihat sebagai konspirasi Yahudi sistem satu partai.. A Gaya totaliter hanya memiliki satu partai politik yang legal, yang memonopoli kantor pemerintah. Meresap dan mengendalikan seluruh lembaga sosial dan berfungsi sebagai sumber kekayaan, prestise, dan kekuasaan Kontrol senjata.. Totaliter negara juga memonopoli penggunaan senjata Seluruh unit militer seni tunduk pada kendali rezim yang berkuasa.. Terror. Totaliter negara sering mengandalkan intimidasi umum (seperti publikasi tidak disetujui melarang) dan individu jera (seperti penyiksaan dan pelaksanaan) untuk mempertahankan kontrol (Bahry dan Silver, 1987) Alexander Solzhenitsyn.’s Gulag Archipelago (1973) mendeskripsikan penjara Uni Soviet dari pembangkang politik di rumah sakit jiwa, di mana mereka menjadi sasaran obat dan perawatan sengatan listrik Kontrol media.. Ada ada “oposisi tekan” dalam keadaan totaliter Media berkomunikasi interpretasi resmi peristiwa dan memperkuat perilaku dan kebijakan disukai oleh rezim Kontrol ekonomi… Totaliter menyatakan kendali sektor utama perekonomian. Mereka mungkin larut kepemilikan pribadi atas industri dan bahkan peternakan kecil Dalam beberapa kasus, pemerintah pusat menetapkan target produksi untuk setiap industri dan unit pertanian.. Pemberontakan serikat pekerja Polandia ‘Solidaritas,. pada awal tahun 1980 sebagian ditujukan terhadap kekuasaan pemerintah atas kuota produksi, kondisi kerja, dan harga. Melalui metode tersebut, pemerintah totaliter menolak representasi orang-orang di politik, ekonomi, dan keputusan sosial yang mempengaruhi kehidupan mereka seperti pemerintah memiliki kontrol menyeluruh atas nasib rakyat..
Demokrasi> Dalam arti harfiah , / strong> berarti pemerintah oleh masyarakat. Demokrasi berasal dari dua kata bahasa Yunani-demo akar, yang berarti “rakyat” atau “rakyat biasa”, dan kratia, yang berarti “aturan” Tentu saja., di besar, negara-negara padat penduduknya, pemerintah oleh semua orang tidak praktis di tingkat nasional ini tidak mungkin untuk lebih dari 246,000,000 Amerika untuk memilih setiap isu penting yang muncul sebelum Kongres.. Akibatnya, demokrasi umumnya dipertahankan melalui cara partisipasi dikenal sebagai p
Amerika Serikat umumnya diklasifikasikan sebagai demokrasi perwakilan, karena kita memilih anggota Kongres dan negara legislatif untuk menangani tugas penulisan hukum kita Namun, kritikus mempertanyakan bagaimana demokrasi perwakilan kita. Apakah benar-benar mewakili rakyat? Apakah ada diri-sejati-pemerintah di Amerika Serikat atau hanya persaingan antara para elite yang kuat
Jelas, warga negara tidak dapat secara efektif mewakili jika mereka tidak diberikan untuk memilih Namun bangsa kita tidak membebaskan laki-laki hitam sampai 1870., dan perempuan tidak diizinkan untuk memilih dalam pemilihan presiden sampai 1920. India Indian Amerika diizinkan untuk menjadi warga negara (dengan demikian kualifikasi untuk memilih) hanya pada tahun 1924, dan sampai tahun 1956, beberapa negara bagian dicegah dari suara dalam pemilu lokal jika mereka tinggal pemesanan.
> Tidak seperti monarki, oligarchies, dan kediktatoran, bentuk pemerintahan yang demokratis menyiratkan suatu oposisi yang ditolerir, atau bahkan, didorong untuk ada Di Amerika Serikat, kita memiliki dua besar partai politik-Partai Demokrat dan Republik-serta berbagai pihak kecil.. Ahli sosiologi menggunakan istilah partai politik untuk merujuk pada suatu organisasi yang tujuan adalah untuk mempromosikan calon terpilih kantor, uang muka ideologi sebagaimana tercermin dalam posisi mengenai isu-isu politik, menang pemilu, dan kekuasaan latihan. Apakah demokrasi memiliki dua partai politik besar (seperti di Amerika Serikat) atau menggabungkan sistem multipartai (seperti di Perancis dan Israel), biasanya akan menekankan perlunya sudut pandang yang berbeda
Seymour Martin Kesal, antara lain sosiolog,. telah mencoba untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat membantu membawa tentang bentuk pemerintahan yang demokratis Dia berpendapat bahwa tingkat tinggi pembangunan ekonomi mendorong stabilitas dan demokrasi.. Kesal mencapai kesimpulan ini setelah mempelajari 50 negara dan menemukan korelasi yang tinggi antara pembangunan ekonomi dan bentuk pemerintahan tertentu
Mengapa harus ada hubungan seperti itu Dalam masyarakat dengan tingkat tinggi pembangunan, penduduk umumnya cenderung urbanisasi dan melek huruf dan lebih siap untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan membuat pandangan dari anggotanya mendengar.? Di samping itu, sebagai Kesal menyarankan, masyarakat yang relatif kaya akan relatif bebas dari tuntutan terhadap pemerintah oleh warga negara berpenghasilan rendah orang miskin. di negara-negara tersebut cukup dapat bercita-cita untuk mobilitas ke atas. Oleh karena itu, bersama dengan kelas menengah yang besar biasanya ditemukan dalam masyarakat industri, yang miskin segmen masyarakat mungkin memiliki saham di stabilitas ekonomi dan politik
p Kesal’s formulasi telah diserang oleh teoretisi konflik, yang cenderung kritis terhadap distribusi kekuasaan dalam demokrasi. Seperti yang akan kita lihat nanti, banyak konflik teoretisi percaya bahwa Amerika Serikat dijalankan oleh elit ekonomi dan politik kecil. Pada saat yang sama, mereka amati bahwa stabilitas ekonomi tidak selalu mempromosikan atau menjamin kebebasan politik Lipset (. 1972) dirinya setuju demokrasi yang dalam prakteknya masih jauh dari ideal dan yang kita harus membedakan antara berbagai tingkat demokrasi dalam sistem pemerintahan yang demokratis Jadi, kita tidak bisa berasumsi. bahwa tingkat perkembangan ekonomi atau label memproklamirkan diri sebagai “demokrasi” menjamin kebebasan dan representasi politik yang memadai. DI AMERIKA SERIKAT
Sebagai warga Amerika yang kita terima banyak aspek dari sistem politik kita Kita. terbiasa tinggal di sebuah negara dengan Bill of Rights, dua partai politik besar, pemungutan suara secara rahasia, seorang presiden terpilih, negara dan pemerintah daerah yang berbeda dari pemerintah nasional, dan sebagainya Namun,. tentu saja, masyarakat masing-masing memiliki cara sendiri yang mengatur dirinya sendiri dan membuat keputusan. Sama seperti kita harapkan kandidat Partai Demokrat dan Republik untuk bersaing untuk jabatan publik, penduduk Uni Soviet terbiasa dengan dominasi Partai Komunis. Pada bagian ini, kita akan membahas beberapa aspek penting dari perilaku politik di Amerika Serikat.
Politik Sosialisasi
Lima fungsional prasyarat bahwa masyarakat harus dipenuhi untuk dapat bertahan hidup diidentifikasi Salah satu diantaranya adalah perlu mengajar merekrut untuk menerima nilai-nilai dan kebiasaan kelompok itu.. Dalam pengertian politik, fungsi ini sangat penting; setiap generasi berikutnya harus didorong untuk menerima nilai-nilai dasar suatu masyarakat politik dan metode tertentu atas keputusan pembuatan.
p
lembaga utama sosialisasi politik adalah mereka yang juga bersosialisasi kita untuk lain-termasuk norma-norma budaya keluarga, sekolah, dan media. Banyak pengamat melihat keluarga sebagai memainkan peran sangat penting dalam proses ini. “incubates Keluarga politik orang, “kata ilmuwan politik Robert Lane Bahkan, orangtua menyampaikan sikap politik mereka dan evaluasi untuk putra dan putri mereka melalui diskusi di meja makan dan juga melalui contoh keterlibatan politik mereka atau sikap apatis.. Dini sosialisasi tidak selalu menentukan orientasi politik seseorang; ada perubahan dari waktu ke waktu dan antara generasi Namun penelitian. pada sosialisasi politik terus menunjukkan bahwa pandangan orang tua “memiliki dampak penting pada pandangan anak-anak mereka sekolah dapat berpengaruh dalam sosialisasi politik, karena mereka kaum muda dengan menyediakan informasi dan analisis dari dunia politik. Tidak seperti keluarga dan kelompok sebaya, sekolah mudah rentan terhadap kontrol terpusat dan seragam; akibatnya, masyarakat totaliter biasanya menggunakan institusi pendidikan untuk tujuan indoktrinasi Namun,. bahkan di negara demokrasi, dimana sekolah-sekolah lokal yang tidak di bawah kendali meresap dari pemerintah nasional, pendidikan politik pada umumnya akan mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai dari tatanan politik yang berlaku.
> Dalam pandangan ahli teori konflik, mahasiswa Amerika belajar jauh lebih banyak daripada faktual informasi tentang cara kami politik dan ekonomi kehidupan mereka telah disosialisasikan untuk melihat kapitalisme dan demokrasi perwakilan sebagai “normal” yang paling diinginkan dan cara-cara mengatur negara.. Pada saat yang sama, nilai-nilai bersaing dan bentuk pemerintahan sering disajikan dalam sebagian besar mode negatif atau diabaikan. Dari perspektif konflik, jenis pendidikan politik melayani kepentingan yang berkuasa dan mengabaikan pentingnya divisi sosial yang ditemukan di Amerika Serikat
p p Anehnya, ungkapan preferensi untuk partai politik sering datang sebelum orang muda memiliki pemahaman yang penuh politik sistem. Survei menunjukkan bahwa 65 hingga 75 persen anak usia 10 dan 11 menyatakan komitmen untuk label politik yang spesifik, termasuk “independen” ilmuwan Politik M. Kent Jennings dan Richard G. Niemi (1974) telah ditemukan. bahwa anak-anak yang menunjukkan tingkat tinggi politik kompetensi-dengan memahami perbedaan antara partai politik dan antara liberal dan konservatif filosofi-lebih cenderung menjadi politik aktif selama masa dewasa. > Seperti keluarga dan sekolah, media massa dapat memiliki efek yang jelas pada masyarakat berpikir dan perilaku politik. Dimulai dengan debat Kennedy-Nixon presiden tahun 1960, televisi telah memberikan peningkatan eksposur untuk kandidat politik Salah satu hasil pentingnya telah meningkat dari “politisi” gambar “sebagaimana dipersepsikan oleh publik Amerika.. Hari ini, banyak pidato yang diberikan oleh para pemimpin bangsa kita dirancang bukan untuk pendengar langsung, tapi untuk para penonton televisi yang lebih besar Di bagian kebijakan sosial kemudian, kami akan meneliti dampak televisi pada kampanye politik Amerika.. p Sejumlah studi komunikasi telah melaporkan bahwa media cenderung tidak mempengaruhi massa orang langsung Elihu Katz. (1957) menggambarkan proses sebagai aliran dua-langkah , dengan menggunakan pendekatan yang mencerminkan penekanan interactionists ‘pada signifikansi sosial dari pertukaran sosial sehari-hari. Dalam pandangan Katz, pesan melewati media pertama mencapai sejumlah kecil pemuka pendapat, termasuk guru, otoritas agama, dan aktivis masyarakat. Para pemimpin “menyebarkan kata” kepada orang lain lebih dari yang mereka memiliki pengaruh pemimpin Opini tidak perlu formal pemimpin kelompok terorganisir orang.. Sebagai contoh, seseorang yang mendengar mengganggu laporan tentang bahaya limbah radioaktif di sebuah sungai dekat mungkin akan memberitahu anggota keluarga dan teman-teman. Masing-masing orang dapat menginformasikan yang lain dan mungkin membujuk mereka untuk mendukung posisi kerja untuk membersihkan sungai. Tentu saja, dalam setiap proses komunikasi di mana seseorang memainkan peran perantara, pesan dapat ditafsirkan kembali pemimpin Opini halus dapat mengubah pesan politik untuk kepentingan mereka sendiri.. Partisipasi dan Apatis
Secara teori, sebuah demokrasi perwakilan akan berfungsi paling efektif dan adil jika ada pemilih informasi dan aktif berkomunikasi pandangan para pemimpin pemerintah. Sayangnya, hal ini hampir terjadi di Amerika Serikat. Hampir semua orang Amerika akrab dengan dasar-dasar politik proses, dan yang paling cenderung untuk mengidentifikasi batas tertentu dengan partai politik, tetapi hanya sebagian kecil (seringkali anggota kelas-kelas sosial yang lebih tinggi) sebenarnya berpartisipasi dalam organisasi politik di Studi lokal atau tingkat nasional. mengungkapkan bahwa hanya 8 persen dari Amerika milik .

Secara struktural makalah yg umum biasanya tersusun atas:

1. Kata Pengantar : berisi kata2 harapan penulis, ucapan trimakasih, dll dari penulis
2. Daftar isi (jelas)
3. Pendahuluan : latar belakang pembuatan tugas, tujuan dan manfaat yg diinginkan
4. Landasan teori : kutipan teori2 yg mendasari makalah, biasa lgs dikutip dari buku diktat
5. Pembahasan : inti makalah yg ingin lo bahas masukan di bab ini
6. Kesimpulan : pendek kata dari pembahasan masukin sini
7. Daftar Pustaka : sumber2 yg anda pakai
KERANGKA LAPORAN PENELITIAN [karya tulis/makalah]
Judul
Lembar Pengesahan
Abstrak/Ringkasan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Tabel
Daftar Gambar
Daftar Lampiran
Daftar Istilah dan atau Daftar Singkatan [kalau ada]
BAB I Pendahuluan (latar belakang, identifikasi masalah, maksud dan tujuan, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran)
BAB II Tinjauan Pustaka
BAB III Bahan dan Metode Penelitian (bentuk penelitian, subjek penelitian, ukuran sampel, definisi operasional, variabel penelitian, prosedur penelitian, cara pemeriksaan/pengukuran, analisis data, tempat dan waktu penelitian, jadwal penelitian, alur penelitian)
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
BAB V Kesimpulan dan Saran
Daftar Pustaka
Lampiran

0 komentar

Posting Komentar

Iklan

Search and download it!

Berita terkini

wibiya widget