Kategori

agama (3) artikel (4) bandung (6) indonesia (4) informasi (7) jurnalisme (2) know (13) Lowongan (3)
Let Me Tell
free counters

Minggu, 15 Agustus 2010

Westerling: Pembantaian, Kudeta, dan Kegagalan

“Orang Belanda sangat perhitungan, satu peluru harganya 35 sen, Sukarno harganya tidak sampai 5 sen, berarti rugi 30 sen yang tak dapat dipertanggungjawabkan.”
(Raymond Piere Paul Westerling “de Turk”)

Kelahiran

Di kota pinggiran Pera, Istanbul, Turki sekitar 90 tahun yang lalu atau tepatnya pada tanggal 31 Agustus 1919, seorang bayi lahir dari pasangan dealer barang antik Belanda bernama Paul Westerling dan Sophia Moutzou, bayi itu kemudian mereka namakan Raymond Piere Paul Westerling.

Ketika berusia 5 tahun, kedua orang tuanya meninggalkan Westerling. Anak tak bahagia itu lalu hidup di panti asuhan. Frère Adolphe seorang pengajar, yang kemudian mengajar Raymond Westerling ketika itu di Istanbul pada sekolah Prancis Katolik St Joseph. Pada saat itu dia merupakan seorang yang lembut, baik dan santun. selanjutnya Raymond berkembang tidak seperti apa yang Frère Adolphe mungkin harapkan. Ia menjadi terkenal dengan julukan Westerling si “Turki”, seorang tentara profesional yang nekat, kejam dan juga seorang Muslim yang fanatik.

Sebagai seorang lelaki ketika di panti asuhan Westerling terlihat menonjol pada hal-hal yang berbau dengan perang, sedikit banyak terlihat ketika di usianya yang belia ia mulai membaca buku-buku perang.

Kemudian diusianya yang ke 20 Si Turki itu menemukan kesempatan untuk jadi tentara ketika Perang Dunia pecah. Desember 1940, ia datang ke Konsulat Belanda di Istanbul. Westerling dengan tak banyak basa-basi sebagai seorang sipil keturunan Belanda ia pun menawarkan diri menjadi sukarelawan ke konsulat Belanda di Turki. Ia diterima. Negeri Belanda memang membutuhkan relawan pada saat itu mengingat “Kincir angin” sedang diduduki Jerman.

Tapi untuk menjadi relawan Belanda, sebelumnya ia harus bergabung dengan pasukan Australia. Bersama kesatuannya, Westerling ikut angkat senjata di Mesir dan Palestina. Dua bulan berselang ia dikirim ke Inggris dengan kapal. Di sini kesewenang-wenangannya mulai muncul. Ia menyelinap menuju Kanada, melaporkan diri ke Tangsi Ratu Juliana, di Sratford, Ontario. Di situlah kemudian ia belajar berbahasa Belanda.

Setelah yakin dengan bahasa Belandanya Westerling pun masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Tak berselang lama pada tanggal 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolferhampton, dekat Birmingham. Ketika disana Westerling terpilih masuk dalam 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia. Seorang instruktur Inggris sendiri mengatakan pelatihan ini sebagai: “It’s hell on earth” (neraka di dunia). Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara lain “unarmed combat”, “silent killing”, “death slide”, “how to fight and kill without firearms”, ”killing sentry” dsb.



Setelah mendapat pelatihan yang teramat keras Westerlingpun lalu dikirim ke Inggris. Ia bergabung dalam Brigade Putri Irene dan ia mendapatkan baret hijaunya. Kemudian selain itu ia pun mendapat didikan sebagai pasukan komando yang berpesialisasi pada sabotase dan peledakan. Tak begitu lama berselang ia pun mendapat baret merah dari SAS (The Special Air Service), pasukan khusus Inggris yang terkenal itu.

Westerling cukup gemilang pada saat itu yang paling membanggakannya ia pernah bekerja di dinas rahasia Belanda di London, pernah menjadi pengawal pribadi Lord Mountbatten yaitu seorang pangeran Inggris yang pernah menjadi Raja di India. Ia pun pernah pula menjadi instruktur pasukan Belanda—untuk latihan bertempur tanpa senjata dan membunuh tanpa bersuara. Tapi sebelum itu semua ia pun pernah menjalani pekerjaan yang dibenci olehnya yaitu menjadi seorang pengupas kentang di dapur. Betapa memuakannya waktu itu.

Di Inggris, setelah bertugas di Eastbourne sejak 31 Mei 1943 maka bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya pada 15 Desember 1943 Sersan Westerling berangkat ke India untuk betugas di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten Panglima South East Asia Command (Komando Asia Tenggara). Mereka tiba di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon 60 km di utara kota Poona.

Westerling lebih memilih pindah dari India karena disana ia merasakan hidup yang menjemukan hanya menjadi instruktur dan pengawal saja. “Mengesalkan cuman hidup di barak seperti ini!!” ujarnya sinis dengan nada sedikit melejit. Ya.. memang ia tak bisa tahan untuk menahan nalurinya untuk mencium bau mesiu pada peperangan yang sebenanya.

Akhirnya cita-citanya kesampaian pada 15 Maret 1944 di London, Belanda mendirikan Bureau Bijzondere Opdrachten -BBO (Biro untuk Tugas Istimewa), kemudian Markas Besarnya berkedudukan di Brussel dan dipimpin oleh Pangeran Bernhard. Pada 23 Oktober 1944, Westerling dipanggil dari India untuk bertugas di BBO di Brussel, dan pada 1 Desember 1944 pangkatnya naik menjadi Sersan Mayor. Dari situ ia bergerak ke Belanda Selatan. Di Belgialah kemudian ia merasakan perang yang sesungguhnya. Ia tampak beringas dan cekatan berperang menikmati setiap dentuman peluru yang ia keluarkan pada musuh-musuhnya.

Semakin Berkilau agaknya prestasi militer Westerling ketika itu. Tapi entah mengapa ia meninggalkan satuannya, pasukan elit Inggris, dan masuk menjadi anggota KNIL Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger atau secara harfiah berarti Tentara Kerajaan Hindia-Belanda. Ia lalu terpilih masuk dalam pasukan gabungan Belanda-Inggris di Kolombo.

Pada September 1945, bersama beberapa pasukan, Westerling diterjunkan ke Medan, Sumatera Utara. Tujuannya, menyerbu kamp konsentrasi Jepang Siringo-ringo di Deli, dan membebaskan pasukan pro-Belanda yang ditawan. Ia pun berhasil dengan gilang gemilang, dan si Turki itu semakin bangga pada dirinya.

Westerling masuk ke dinas KNIL dengan pangkat (reserve) tweede luitenant (Letnan II Cadangan) dan setelah berada di KNIL ia ditugaskan di Sri Lanka pada Anglo-Dutch Country Section yang di kalangan Belanda disebut Korps Insulinde (KI).

Setelah itu Westerling dengan menggunakan pesawat udara mendarat di Medan memimpin rombongan dengan nama sandi Status Blue, yang terdiri dari Sersan B. de Leeuw, Sersan J. Quinten, Liaison Officer Inggris Kapten Turkhaud dan Prajurit Sariwating asal Ambon. Westerling masih menjabat letnan II, pada waktu itu membawa seragam dan persenjataan untuk 175 orang dan berbagai logistik lainnya untuk pasukan Belanda di Medan.

Sebulan kemudian tentara Inggris mendarat di Sumatera Utara, dan entah bagaimana Westerling bergabung dengan pasukan ini. Tugasnya, melakukan kontraspionase. Maka di Medan ia mengkoordinir orang-orang Cina, membentuk pasukan teror Poh An Tui (PAT). Di sana ia pun menjalankan aksi-aksi kontrateror.

Westerling dalam melangsungkan aksinya selalu memberikan bukti peninggalan pembunuhan yang ditandatanganinya dengan nama “Harimau Putih”. Maka seolah-olah sejak di Sumatera Utara itu ia memanfaatkan kepercayaan mistik tradisional penduduk setempat dengan begitu strateginya ini sering berhasil membuat penduduk gusar. Sebelum meninggalkan Sumatera Utara, Westerling sempat membohongi pimpinan tentara Inggris di situ dengan gerakan “antiteror” nya yang bernama “Pasukan Lima”.

Pada 20 Juli 1946Westerling diangkat menjadi komandan pasukan khusus, Depot Speciale Troepen – DST (Depot Pasukan Khusus) yang baru didirikan pada 15 Juni 1946 di Polonia, Jakarta Timur. Nantinya DST menjelma jadi Pasukan Komando Baret Hijau atau Korps Speciale Troepen. Awalnya, penunjukkan Westerling memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih tepat dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Dengan DST dibawah pimpinan inilah kemudian dia berhasil meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasannya ke Sulawesi Selatan dan menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan namanya membumbung tinggi.

Pembantaian Westerling

Pada 9 November 1946, Letnan Jenderal Spoor dan Kepala Stafnya, Mayor Jenderal Buurman van Vreeden memanggil seluruh pimpinan pemerintahan Belanda di Sulawesi Selatan ke markas besar tentara di Batavia. Diputuskan untuk mengirim pasukan khusus dari DST pimpinan Westerling untuk menghancurkan kekuatan bersenjata Republik serta mematahkan semangat rakyat yang mendukung Republik Indonesia. Westerling diberi kekuasaan penuh untuk melaksanakan tugasnya dan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.

Memang ketika itu perlawanan-perlawanan demikian gencar diterjangkan para pejuang kemerdekaan pada pasukan Belanda, sehingga membuat pihak Belanda menjadi kerepotan tak kuasa lagi menahan serbuan para gerilya. Akhirnya berbagai langkah pun coba ditempuh walau dengan cara yag keji sekalipun yang kemudian diperbuat oleh Westerling.

Westerling tiba di Makassar pada 5 Desember 1946, memimpin 120 orang Pasukan Khusus dari DST. Dia mendirikan markasnya di desa Matoangin. Di sini dia menyusun strategi untuk Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan) dengan caranya sendiri, dan tidak berpegang pada Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger – VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), di mana telah ada ketentuan mengenai tugas intelijen serta perlakuan terhadap penduduk dan tahanan. Suatu buku Pedoman untuk Counter Insurgency. Saat inilah terjadi peristiwa Pembantaian Westerling.

Aksi pertama operasi Pasukan Khusus DST dimulai ketika langit sedang gelap tanggal 11 menjelang 12 Desember. Sasarannya adalah desa Batua serta beberapa desa kecil di sebelah timur Makassar dan Westerling sendiri yang memimpin operasi itu. Pasukan pertama berkekuatan 58 orang dipimpin oleh Sersan Mayor H. Dolkens menyerbu desa Borong dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Instruktur J. Wolff beroperasi di desa Batua dan Patunorang. Westerling sendiri bersama Sersan Mayor Instruktur W. Uittenbogaard dibantu oleh dua ordonan, satu operator radio serta 10 orang staf menunggu di desa Batua. Tengah malam yang cukup mencekam ketika itu dengan berondongan peluru terjadi di sudut-sudut desa.

Pada fase pertama, pukul 4 pagi wilayah itu dikepung dan seiring dengan sinyal lampu pukul 5.45 dimulai penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Penggeledahan yang bukan hanya menggeledah masyarakat desa tak dianggap seperti manusia, Dengan menggunakan sepatu hitam yang keras itu pasukan westerling banyak yang menendang-nendang dengan beringas, sehingga lebam ditubuh pastilah nyata dirasa.

Setelah puas menggeledah semua rakyat digiring ke desa Batua. Pada fase ini, 9 orang mencoba melarikan diri tapi malang mereka langsung ditembak mati, Pengadilan kematian yang singkat.

Setelah berjalan kaki beberapa kilometer, sekitar pukul 8.45 seluruh rakyat dari desa-desa yang digeledah telah terkumpul di desa Batua. Tidak terlalu diketahui berapa jumlahnya secara tepat. Westerling melaporkan bahwa jumlahnya antara 3.000 sampai 4.000 orang yang kemudian perempuan dan anak-anak dipisahkan dari pria.

Masih di Batua, fase kedua pun dimulai, yaitu mencari kaum ekstremis, perampok, penjahat dan pembunuh yang belakangan banyak beraksi di Sulawesi. Westerling sendiri yang memimpin aksi ini dan berbicara kepada rakyat, yang diterjemahkan ke bahasa Bugis. “Saya memiliki daftar nama teroris yang telah disusun oleh Vermeulen intel kami. Oleh sebab itu Setiap Kepala Adat dan Kepala Desa harus membantu mengidentifikasi para teroris itu”. Ia ucapkan dengan nada yang berapi-api pada setiap Kepala Adat dan Desa disana.

Hasilnya adalah 35 orang yang dituduh yang menurutnya pantas langsung diadili dengan cara Standrechtelijke excecuties– eksekusi di tempat dengan tanpa proses pengadilan, tuntutan apalagi pembelaan. Dalam laporannya Westerling menyebutkan bahwa yang telah dihukum adalah 11 ekstremis, 23 perampok dan seorang pembunuh.

Fase ketiga Westerling memberikan ancaman dan kecaman kepada rakyat agar tidak terjadi tindakan yang dianggapnya membahayakan Belanda. Kepala Desa yang tidak mendukung atau pun tidak sependapat dengan Westerling diganti, serta polisi desa pun dibentuk dengan tugas harus melindungi desa dari anasir-anasir “teroris dan perampok” dalam hal tentu saja yang dimaksud adalah para pejuang Republik Indonesia.

Setelah Westerling puas mengadili dan mengancam, rakyat pun disurunya pulang ke desa masing-masing. Operasi yang berlangsung dari pukul 4 hingga pukul 12.30 ini telah menelan korban tewas hingga 44 jiwa rakyat desa yang tak berdosa.

Seperti itulah adanya sweeping ala Westerling yang sering ia berlakukan. Dengan pola yang sama, operasi pembantaian rakyat di Sulawesi Selatan berjalan terus menerus. Westerling juga memimpin sendiri operasi di desa Tanjung Bunga pada malam tanggal 12 menjelang 13 Desember 1946. 61 orang mati dengan timah panasnya. Selain itu beberapa kampung kecil di sekitar desa Tanjung Bunga pun dibakar, sehingga korban yang tewas seluruhnya mencapai hingga 81 orang.

Berikutnya pada malam tanggal 14 menjelang 15 Desember, tiba giliran desa Kalungkuang yang terletak di pinggiran Kota Makassar. Westerling beserta pasukannya memburu Wolter Mongisidi dan Ali Malaka karena menurut laporan intelejennya mereka berada diwilayah ini. Namun Westerling yang kini meraih julukan Sang Jagal itu tak bisa menemukannya. Maka, seperti biasa lagi-lagi operasi ini memakan korban jiwa, setidaknya tak kurang dari 23 orang rakyat ditembak mati ditempat.

Tak puas beroperasi Westerling melanjutkan Pada pertengahan malam tanggal 16 menjelang tanggal 17 desember, desa Jongaya yang terletak di sebelah tenggara Makassar menjadi sasaran. Di sini 33 orang yang ia nyatakan sebagai “teroris” dieksekusi tanpa banyak kata.

Setelah daerah sekitar Makassar dibersihkan, aksi tahap kedua dimulai tanggal 19 Desember 1946. Sasarannya adalah Polombangkeng yang terletak di selatan Makassar di mana menurut laporan intelijen Belanda, terdapat sekitar 150 orang pasukan TNI serta sekitar 100 orang anggota laskar bersenjata. Dalam penyerangan ini, Pasukan DST menyerbu bersama-sama dengan 11 peleton tentara KNIL dari Pasukan Infanteri XVII. Penyerbuan ini dipimpin oleh Letkol KNIL Veenendaal. Satu pasukan DST di bawah pimpinan Vermeulen menyerbu desa Renaja dan desa Komara. Pasukan lain mengurung total Polombangkeng. Selanjutnya pola yang sama seperti pada gelombang pertama diterapkan oleh Westerling. Dalam operasi ini lebih banyak korban yang berguguran, terhitung 330 nyawa rakyat melayang tewas dibunuh tanpa tahap meja hijau.

Aksi tahap ketiga mulai dilancarkan pada 26 Desember 1946 terhadap Goa dan dilakukan dalam tiga gelombang, yaitu tanggal 26 dan 29 desember serta 3 Januari 1947. Di sini juga dilakukan kerjasama antara Pasukan Khusus DST dengan pasukan KNIL dan dengan menggunakan metode yang sama. Para prenduduk khususnya laki-laki yang dianggap ekstremis dan teroris pun menjadi korban bahkan yang hanya menolak bekerjasama pun tak pelak jadi bulanan. Sehingga yang tewas di kalangan penduduk mencapai 257 orang.

Untuk lebih memberikan keleluasaan bagi Westerling, pada 6 Januari 1946 Jenderal Spoor sebagai komandan KNIL pada saat itu memberlakukan noodtoestand (keadaan darurat) untuk wilayah Sulawesi Selatan. Pembantaian rakyat dengan pola seperti yang telah dipraktekkan oleh pasukan khusus berjalan terus dan di banyak tempat, Westerling tidak hanya memimpin operasi, melainkan ikut menembak mati rakyat yang dituduh sebagai teroris, perampok atau pembunuh.

Pertengahan Januari 1947 sasarannya adalah pasar di Pare-Pare dan dilanjutkan di Madello, Abokangeng, Padakalawa, satu desa tak dikenal, Enrekang, Talanbangi, Soppeng, Barru, Malimpung, dan Suppa. Dari petualangannya tersebut tibalah giliran yang tak disangka yakni ketika seorang perempuan muda mulai disergap. Siti Hasannah namannya perempuan muda yang menjadi korban penangkapan tak berdosa.

Ketika itu serdadu NICA mulai mendatangi rumah Siti Hasannah dan mereka membawa ayahnya pergi. Namun tak lama kemudian, mereka datang lagi untuk mengambil pamannya, Puang Side. Datang yang ketiga kalinya, tibalah giliran Siti dibawa ke kantor PM (Polisi Militer). Di sana Siti bertemu ayah, Puang Side dan banyak lagi teman-teman seperjuangan yang lain. Dua minggu di sel MP bersama ayah dan Puang Side, mereka lalu dibawa ke penjara besar Pare-Pare. Siti bertemu lagi dengan teman-teman seperjuangan. Kira-kira sebulan lebih menjadi penghuni rumah tahanan.

Pagi itu pada tanggal 4 Januari 1947, kira-kira pukul 08.00, sebuah jeep PM berhenti di depan penjara besar Pare-Pare. Seorang sersan mayor turun dari jeep itu diikuti beberapa militer yang lain. Mereka berseragam loreng, bertopi baja, lengkap bersenjata sangkur terhunus, bahkan ada yang menyandang sten gun. Mereka masuk penjara, kemudian memanggil satu presatu nama tahanan Merah-Putih yang belum diadili. Lalu mereka disuruhnya berbaris dua-dua keluar penjara menuju kantor. Sampai di depan kantor, mereka disuruh jongkok di tanah. Tidak lama kemudian, mereka diperintahkan lagi keluar menuju lapangan tenis. Begitu mereka berhenti, mereka dibentak disuruh berangkat menuju ke barat.

Di lapangan tenis, para serdadu tersebut berdiri melingkari barisan kami. Ketika semua sudah jongkok, Siti tetap berdiri di tengah, dekat ayah. “Siti pikir, jongkok atau berdiri toh akan sama-sama ditembak juga” Pikirnya dalam hati.

Tak lama kemudian, datanglah sebuah jeep, di atasnya duduk dua orang Belanda, seorang berbaret merah, sedangkan yang lain orangnya gemuk becelana pendek dan pakai topi helm. Salah seorangnya ternyata adalah Westerling dengan tubuh tegap ia mendekati ayah, dan berteriak, “inilah balasannya! Ekstremis! Perampok! Pemberontak! Saya akan selesaikan satu persatu!!”

Kemudian terdengar suara tembakan yang memberondong, yang tidak akan Siti lupakan seumur hidup. Ayahnya pun gugur. Satu per satu saudara-saudaranya pun roboh ke tanah. Selesai menembak, Westerling melangkah di depan Siti lalu menggertak kasar, “Ini perempuan juga mau melawan Belanda ya!?”

“Heh, Tuan, kami bukan perampok! Tuan-tuanlah yang merampok! Ini adalah negeri kami sendiri!!!” teriak Siti geram.

Siti pun diam termanggu-manggu, heran mengapa ia disisakan, tidak dibunuh bersama yang lain? Tiba-tiba seorang serdadu mendorongnya. Ia disuruh naik jeep, kembali ke markas MP. Ketika mesin mulai menderu, Siti masih sempat menoleh, melihat jenazah ayah dan saudara-saudara seperjuangan bergelimpangan begitu saja di tanah.

Hari itu Siti bermalam lagi di PM. Besoknya, ia dibawa pergi kembali ke penjara besar Pare-Pare. setelah semalam di kamar sel, keesokan harinya ia pun dipindahkan, dicampur dengan perempuan nakal. Di sini dia tinggal selama lima malam. Malam itu, kira-kira pukul 21.00 malam, kamar Siti dibuka penjaga, seorang PM. “Bangun! Dipanggil Tuan Besar!” bentaknya memerintah. Siti pun tergopoh-gopoh bangun, lalu mengikuti orang yang memanggil, menuju ke kamar Mayor de Bruin. Di situ ada dua orang tamunya, yang kemudian ia kenal sebagai Van der Velaan dan seorang KNIL yang tak tahu siapa namanya.

Mereka bertiga sedang ngobrol sambil menghadapi minuman keras di meja, membelakangi Siti sambil menuang minuman di gelas. Entah minuman keras apa yang dituang, Siti tidak lihat. Kemudian minuman itu disodorkannya kepada Siti sambil berkata, “Ini limun, bukan apa-apa!” Ia pun dipaksa minum sambil pistolnya dipegang-pegang.

Belum seberapa Siti meminumnya, kepalanya langsung pusing. Dua orang Belanda tadi cepat-cepat ke luar ruang dan Siti pun sepenuhnya tidak sadarkan diri.

Kira-kira pukul 05.00 subuh, Siti baru tersadar. Ia langsung marah-marah mencaci maki Mayor de Bruin, “Kenapa saya disiksa begini? Kenapa tidak dibunuh saja? Kurang ajar, tidak berperikemanusiaan! Apa ini hukuman yang dijatuhkan kepada saya?!” Subuh itu juga ia tinggalkan kamar itu dan pindah ke kamarnya semula.

Dalam kesendirian Siti meratapi nasib. “Ayah ditembak, saya tercemar dan tidak berdaya hanya Tuhanlah Yang Maha Tahu.”

Setelah itu, Westerling masih memiliki agenda lainnya. Ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di pesisir Tanette, pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para “ekstremis” bereskalasi di desa Kulo, Amperita dan Maruanging di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan.

Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya “teroris, perampok dan pembunuh” yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.

H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling yang jago tembak itu dengan sendiri menembak mati beberapa orang menggunakan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong tanpa ampun oleh peleton DST dengan senjata sten gun.

Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan. Pada aksi di Goa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang tetap setia menjadi kambingnya Belanda.

Peristiwa Galung Lombok

Peristiwa maut Galung Lombok terjadi pada tanggal 2 Februari 1947. Ini adalah peristiwa pembantaian Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di daerah lain sebelumnya. Pada peristiwa itu, M. Yusuf Pabicara Baru (anggota Dewan Penasihat PRI) bersama dengan H. Ma”ruf Imam Baruga, Sulaiman Kapala Baruga, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru. Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut.

Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok hanya untuk kemudian diakhiri hidupnya.

Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut “Peristiwa Galung Lombok “ itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammdyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.

Dua di antara mereka yang disiksa adalah Andi Tonran dan Abdul Wahab Anas. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang tentara NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie), hingga akhirnya menghebuskan nafas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas.

Kemudian Setelah itu,Oemi Hani seorang lagi perempuan biasa yang dicurigai pejuang ditangka, dibawa dan dijebloskan ke dalam tahanan di tangsi KNIL Majene. Jumlah tahanan yang ada pada saat itupun bertambah menjadi delapan puluh orang, termasuk Ibu Depu, Siti Ruaidah, Muhamad Djud Pance, dan A.R. Tamma, yang kesemuanya merupakan aktivis PRI, aktivis KRIS muda, atau kedua-duanya.

Oemi masih meringkuk dalam kamar tahanan, yang hanya berukuran 3 x 3 m, ketika terjadi peristiwa maut Galung Lombok yang teramat mengerikan pada tanggal 2 Februari 1947. Peristiwa pembantaian yang didalangi anjing-anjing Westerling, yang telah menelan korban jiwa terbesar di antara semua korban yang jatuh di lain-lain daerah. Pada peristiwa yang memilukan hati itu, pahlawan M. Yusuf Pabicara Baru, anggota Dewan Penasihat PRI (Pemuda Republik Indonesia), bersama dengan H. Ma’ruf Imam Baruga, Sulaiman Kapala Baruga, Daaming Kapala Segeri, H. Nuhung Imam Segeri, H. Sanoesi, H. Dunda, H. Hadang, Muhamad Saleh, Sofyan, dan lain-lain, direbahkan di ujung bayonet dan menjadi sasaran peluru.

Setelah itu, barulah menyusul adanya pembantaian serentak terhadap orang-orang yang tak berdosa yang turut digiring ke tempat tersebut. Semua itu belum termasuk korban yang dibantai habis di tempat lain, seperti Abdul Jalil Daenan Salahuddin (Qadhi Sendana), Tambaru Pabicara Banggae, Atjo Benya Pabicara Pangali-ali, ketiganya anggota Dewan Penasihat PRI, Baharuddin Kapala Bianga (Ketua Majelis Pertahanan PRI), Dahlan Tjadang (Ketua Majelis Urusan Rumah Tangga PRI), dan masih banyak lagi yang tidak mungkin disebutkan namanya satu persatu. Ada pula yang diambil dari tangsi Majene waktu itu dan dibawa ke Galung Lombok lalu diakhiri hidupnya.

Sepuluh hari setelah terjadinya peristiwa yang lazim disebut “Peristiwa Galung Lombok” itu, menyusul penyergapan terhadap delapan orang pria dan wanita, yaitu Andi Tonra (Ketua Umum PRI), A. Zawawi Yahya (Ketua Majelis Pendidikan PRI), Abdul Wahab Anas (Ketua Majelis Politik PRI), Abdul Rasyid Sulaiman (pegawai kejaksaan pro RI), Anas (ayah kandung Abdul Wahab), Nur Daeng Pabeta (kepala Jawatan Perdagangan Dalam Negeri), Soeradi (anggota Dewan Pimpinan Pusat PRI), dan tujuh hari kemudian ditahan pula Ibu Siti Djohrah Halim (pimpinan Aisyah dan Muhammdyah Cabang Mandar), yang pada masa PRI menjadi Ketua Majelis Kewanitaan.
Dua di antara mereka yang disiksa luar biasa beratnya ialah Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas. Wahab Anas dalam keadaan terjungkir di tiang gantungan, dipukul bertubi-tubi. Darahnya bercucuran keluar dari hidung, mulut dan telinganya. Sedangkan Soeradi tidak digiring ke tiang gantungan, melainkan disiksa secara bergantian oleh lima orang bajingan NICA, sampai menghebuskan nafas terakhir di bawah saksi mata Andi Tonra dan Abdul Wahab Anas. Tapi Oemi Bersyukur tak menjadi mayat yang tersungkur karena tidak ada namanya dalam buku kematian Belanda itu.

Setelah itu, masih ada beberapa desa dan wilayah yang menjadi sasaran Pasukan Khusus DST tersebut, yaitu pada 7 dan 14 Februari di pesisir Tanette; pada 16 dan 17 Februari desa Taraweang dan Bornong-Bornong. Kemudian juga di Mandar, di mana 364 orang penduduk tewas dibunuh. Pembantaian para “ekstremis” bereskalasi di desa Kulo, Amperita dan Maruanging di mana 171 penduduk dibunuh tanpa sedikit pun dikemukakan bukti kesalahan mereka atau alasan pembunuhan. Selain itu, di aksi-aksi terakhir, tidak seluruhnya “teroris, perampok dan pembunuh” yang dibantai berdasarkan daftar yang mereka peroleh dari dinas intel, melainkan secara sembarangan orang-orang yang sebelumnya ada di tahanan atau penjara karena berbagai sebab, dibawa ke luar dan dikumpulkan bersama terdakwa lain untuk kemudian dibunuh.

H.C. Kavelaar, seorang wajib militer KNIL, adalah saksi mata pembantaian di alun-alun di Tanette, di mana sekitar 10 atau 15 penduduk dibunuh. Dia menyaksikan, bagaimana Westerling sendiri menembak mati beberapa orang dengan pistolnya, sedangkan lainnya diberondong oleh peleton DST dengan sten gun.

Di semua tempat, pengumpulan data mengenai orang-orang yang mendukung Republik, intel Belanda selalu dibantu oleh pribumi yang rela demi uang dan kedudukan, menghianati bangsanya sendiri. Pada aksi di Goa, Belanda dibantu oleh seorang kepala desa, Hamzah, yang selama Perang Dunia II tetap setia kepada Belanda.

Berdasarkan laporan yang diterimanya, Jenderal Spoor menilai bahwa keadaan darurat di Sulawesi Selatan telah dapat diatasi, maka dia menyatakan mulai 21 Februari 1947 diberlakukan kembali Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger – VPTL (Pedoman Pelaksanaan bagi Tentara untuk Tugas di bidang Politik dan Polisional), dan Pasukan DST ditarik kembali ke Jawa.

Demikianlah pembantaian rakyat Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh tentara Belanda yang dipimpin oleh Raymond P.P. Westerling. Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond “Turki” Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.

Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya “hanya” 600 orang.

Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan “contra-guerilla”, memperoleh “licence to kill” (lisensi untuk membunuh) dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.

Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocid ) layaknya Hitler dan crimes against humanity, tidak ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda

Menjadi Kapten

Terlepas dari permasalahan pembantaian yang terjadi di Sumatera, Belanda malah menilai Westerling dengan keberhasilan menumpas para “teroris”. Tentu saja di kalangan Belanda –baik militer mau pun sipil- ini menjadi reputasi prestisius bagi Pasukan Khusus DST dan komandannya, Westerling kian membumbung tinggi saja. Media massa Belanda memberitakan secara superlatif. Ketika pasukan Westerling tiba kembali ke Markas DST pada 23 Maret 1947, mingguan militer Het Militair Weekblad menyanjung dengan berita: “Pasukan si Turki kembali.” Sang pembunuh berdarah dingin itu pun tenar.

Namun, tak selang lama dari pemberitaannya yang ramai di media, Kamp DST pun kemudian dipindahkan ke Kalibata. Setelah itu, karena dianggap sudah terlalu sempit, selanjutnya dipindahkan ke Batujajar dekat Cimahi. Bulan Oktober 1947 dilakukan reorganisasi di tubuh DST dan komposisi Pasukan Khusus tersebut kemudian terdiri dari 2 perwira dari KNIL, 3 perwira dari KL (Koninklijke Leger), 24 bintara KNIL, 13 bintara KL, 245 serdadu KNIL dan 59 serdadu KL. Tanggal 5 Januari 1948, nama DST dirubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit parasutis yang kelak akan menjadi KOPASSUS (Komando Pasukan Khusus) dengan baret merah. Westerling kini memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya kini Kapten.

Setelah Persetujuan Renville pada tanggal 17 Januari 1948, Korps Speciale Troepen yang Westerling pimpin diberi tugas untuk menduduki markas Batujajar juga untuk melakukan patroli dan pembersihan disekitar Jawa Barat. Markas tersebut berhadapan langsung dengan kedudukan tangsi Tentara Republik Indonesia. Hanya saja terhalang oleh sungai Citarum sebagai garis demakrasinya. Namun sama seperti di Sulawesi Selatan, banyak anak buah Westerling melakukan pembunuhan sewenang-wenang terhadap penduduk di sekitar Batujajar dan Jawa Barat.

Dari Januari hingga Novemer 1948 menjadi bulan yang kelam bagi warga Batujajar Raymond Westerling melakukan sweeping terhadap penduduk dan membawa mereka yang dicurigai ke markasnya untuk di interogasi kemudian. Seselesainya interogasi lebam-lebam pastilah didapati disekujur tubuh.

Tak puas dengan jawaban dari mereka maka, oleh Westerling para tahanan tersebut dilepaskannya untuk dengan syarat menyebrangi sungai Citarum yang panjangnya sekitar 700 meter itu. Ia berkata pada para tahanan seraya menodongkan pistolnya “Berenanglah kalian dan bergabunglah bersama dengan para pejuang Indonesia di seberang sana!”

Tapi bukanlah Si Turki namanya kalau dengan mudah saja membebaskan mereka tanpa luka atau menjadi mayat. Ketika para tahanan sedang berenang menyebrangi sungai, mereka pun tak pelak menjadi sasaran tembak anak buah westerling dengan menggunakan senjata otomatis laras panjang yang menggelegarkan suasana sungai citarum yang asri ketika itu. Alhasil merekapun berguguran tak tersisa dan mayatnya terbawa arus, tergerus entah kemana.

Kemudian lagi-lagi tak sampai disitu, pasukan KST pun membantai dengan sadis sepuluh orang penduduk tanpa alasan yang jelas, dan kemudian mayat mereka dibiarkan tersungkur menggeletak di tengah jalan.

Lalu, Pada 17 April 1948, Mayor KL R.F. Schill, komandan pasukan 1-11 Republik Indonesia di Tasikmalaya, membuat laporan kepada atasannya, Kolonel KL M.H.P.J. Paulissen di mana Schill mengadukan ulah pasukan elit KST (Korps Speciaale Troepen).

Maka, perbuatan ini telah menimbulkan protes di kalangan tentara KL (Koninklijke Leger) dari Belanda, yang semuanya terdiri dari pemuda wajib militer dan sukarelawan Belanda. Pengaduan ini juga mengakibatkan dilakukannya penyelidikan terhadap pasukan khusus pimpinan Westerling. Setelah dilakukan penyelidikan, ternyata banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang kemudian mencuat ke permukaan. Di samping pembunuhan sewenang-wenang, juga terjadi kemerosotan disiplin dan moral di tubuh pasukan elit KST. Kritik tajam mulai berdatangan dan pers menuding Westerling telah menggunakan metode Gestapo (Geheime Staatspolizei) yaitu polisi rahasia Jerman yang terkenal kekejamannya semasa Hitler, dan hal-hal ini membuat para petinggi tentara Belanda menjadi gerah.

Pemecatan Westerling Awal Kudeta

Dengan begitu hal ini memaksa Jenderal Spoor sebagai atasan Westerling untuk mencopot paksa kedudukannya di militer KST walaupun Jenderal melakukannya dengan berat hati. Namun untuk menghindari pengusutan lebih lanjut serta kemungkinan tuntutan ke pangadilan militer yang bisa lebih memperparah keadaan, Spoor memilih untuk menon-aktifkan Westerling.

Sejarahpun kemudian mencatat pada 16 November 1948, setelah duasetengah tahun memimpin pasukan khusus Depot Speciaale Troepen (DST) kemudian KST, Westerling diberhentikan dari jabatannya dan juga dari dinas kemiliteran. Penggantinya sebagai komandan KST adalah Letnan Kolonel KNIL W.C.A. van Beek.

Setelah pemecatan atas dirinya, entah karena ingin hidup dengan damai kemudian Westerling pun menjadi warga sipil biasa dan menikahi pacarnya Ivonne Fournier juga menjadi pengusaha bunga di Pacet (Puncak), Jawa Barat.

Namun ternyata Westerling tidak berpangku tangan dan menikmati kehidupan seorang sipil, ia ternyata cukup gatal bila berdiam diri. Maka, ia pun malah aktif menjaga hubungan dengan bekas anak buahnya dan yang tak bisa dipercaya ia menjalin hubungan erat dengan kelompok Darul Islam di Jawa Barat.

Secara diam-diam ia membangun basis kekuatan bersenjata akan digunakan untuk memukul Republik Indonesia, yang direalisasikannya pada 23 Januari 1950, dalam usaha yang dikenal sebagai “Kudeta 23 Januari”. Maka untuk mencapai itu semua tak butuh waktu yang lama dengan bantuan Darul Islam pada November 1949 kemudian Westerling mendirikan organisasi bernama “Ratu Adil Persatuan Indonesia” (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan “Angkatan Perang Ratu Adil” () dengan partisipan sebanyak 500.000 orang.

Pada 23 Januari 1950, segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond “si Turki” Westerling, mantan komandan pasukan khusus KST (Korps Speciaale Troepen) masuk ke kota Bandung. Masyarakat Jawa Barat dan Divisi Siliwangi boleh jadi tidak bisa melupakan peristiwa berdarah ini karena pagi itu, tentara Belanda yang dipimpin Westerling menggemparkan Kota Bandung. Pasukan tanpa atribut itu membabi buta menembaki anggota Divisi Siliwangi yang berada di jalan. Mayor Sutikno dan Mayor Sacharin ditembak tepat di depan Hotel Savoy Homann.

Letkol Adolf Lembong yang pagi itu akan menghadap Komandan Divisi Siliwangi Kolonel Sadikin di Gedung Stafkwartir yang terletak di jalan Oudhospitalweg yang kini Jalan Lembong Nomor 38, tidak luput dari sasaran kekejaman algojo peristiwa pembantaian 40.000 penduduk Sulawesi Selatan itu.

Peristiwa itu mengakibatkan 79 anggota Divisi Siliwangi gugur. Dalam penyelidikan kepolisian pada awal 1955 menemukan setidaknya terdapat 15 prajurit lain, bahkan salah seorang di antaranya berpangkat kapten. Mereka dibawa lari ke hutan di kaki Gunung Tangkubanparahu di sebelah barat Lembang oleh sebagian pasukan APRA yang dipimpin Eddy Hoffman.

Tak hanya di jalan Lembong mereka membantai TNI tapi di hampir setiap sudut jalan ketika mendapati orang yang berseragam loreng TNI pasti mereka bunuh lagi-lagi seperti di Sulawesi, Westerling menggunakan metode siding ditempat.

Ternyata aksi gerombolan Westerling yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Kudeta APRA ini, telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.

Pada 25 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor yang meninggal secara misterius. Ada yang mengatakan, bahwa Spoor bunuh diri karena kecewa atas persetujuan Roem-Royen yang membidani Konferensi Meja Bundar.

“Jenderal bagaimana bila saya akan ganggu penyerahan kedaulatan Kemerdekaan Indonesia itu? Saya akan serbu Soekarno dan kliknya” Ucap Westerling dengan nada sedikit berbisik di telepon.

Dengan nada sedikit meninggi van Vreden balik bertanya “ Maksudmu kau akan mengkudeta Soekarno?” Van Vreeden pun melanjutkan dengan pendapat yang tak disangka oleh Westerling sebelumnya “Sebagai orang yang bertanggungjawab atas kelancaran penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember nanti tentunya saya tak akan pernah mengijinkan hal itu sampai terjadi. Bahkan dengan pernyataan seperti ini saja seharusnya kau sudah harus ku tahan dan ku jebloskan ke penjara. Berhati-hatilah!”

Namun, nasihat dari Van Vreden ini tak digubris sedikitpun oleh Westerling, sifatnya yang membangkang terlalu lekat pada dirinya. Pada 5 Januari 1950 Westerling pun melangkahkan aksi nyatanya dengan mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Dia menuntut agar Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat) harus menghargai Negara-Negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalam waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar.

Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan membuat bingung dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman) sebagai Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Akhirnya Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.

Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Hal ini tentu merupakan suatu ironi, karena Hatta sendiri serta banyak pemimpin bangsa Indonesia pernah menjadi korban exorbitante rechten.

Sementara itu, pada 10 Januari 1950 Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya Mémoires yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.

Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.

Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau terlambat dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan “kudetanya.” Subuh pukul 4.30 hari itu, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal Engles dan melaporkan: “Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung.”

Namun laporan Letkol Cassa tidak mengejutkan Engles, karena sebelumnya, pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa “compagnie Erik” yang berada di Kampemenstraat juga akan melakukan desersi pada malam itu dan bergabung dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.

Di pagi yang menyingsing pukul 8.00 Letkol Sadikin menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya, dan pada pukul 9.00 Letkol Sadikin mendatangi Engles. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah melakukan desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.

Di kota Bandung, secara membabi buta Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. Hari itu, 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.

Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud menangkap Presiden Sukarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal total. Demikian juga secara keseluruhan, pelaksanaan kudeta yang sebelumnya telah direncanakan tidak seperti yang diharapkan oleh Westerling dan anak buahnya.

Westerling, setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, di mana dia pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan yang sengit ketika itu, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.

Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.

Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor BeritaReuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: “Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara.” Untuk dunia internasional, Belanda sekali lagi duduk di kursi terdakwa. Duta Besar Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh “de zwarte hand van Nederland” (tangan hitam dari Belanda).

Konspirasi Belanda Menyelamatkan Westerling

Setelah kegagalan “kudeta” yang juga sangat memalukan itu, pemerintah Belanda memutuskan untuk secepat mungkin mengevakuasi pasukan RST. Pada sidang kabinet tanggal 6 Februari dipertimbangkan, untuk memindahkan pasukan RST ke Papua Barat, karena membawa mereka ke Belanda akan menimbulkan sejumlah masalah lagi.

Pada 15 Februari 1950 Menteri Götzen memberi persetujuannya kepada Hirschfeld untuk mengirim pasukan RST yang setia kepada Belanda ke Belanda, dan pada hari itu juga gelombang pertama yang terdiri dari 240 anggota RSTdibawa ke kapal Sibajak di pelabuhan Tanjung Priok. Komandan RST Letkol Borghouts terbang ke Belanda untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Disediakan tempat penampungan di kamp Prinsenbosch dekat Chaam, 15 km di sebelah tenggara kota Breda. Pada 17 Maret 1950 gelombang pertama pasukan RST tiba di tempat penampungan, dengan pemberitaan besar di media massa. Pada 27 Maret dan 23 Mei 1950 tiba dua rombongan pasukan RST berikutnya. Keseluruhan pasukan RST bersama keluarga mereka yang ditampung di Prinsenbosch sekitar 600 orang. Sekitar 400 orang telah didemobilisasi di Jakarta, dan di Batujajar sekitar 200 orang pasukan RST, sedangkan 124 orang pasukan RST yang terlibat dalam aksi Westerling, ditahan di pulau Onrust menunggu sidang pengadilan militer.

Jumlah tentara Belanda yang ditahan untuk disidangkan jelas sangat kecil, dibandingkan dengan yang tercatat telah ikut dalam aksi kudeta Westerling, yaitu lebih dari 300 orang.

Demikianlah akhir yang memalukan bagi pasukan elit Reciment Speciaale Troepen (RST) yang merupakan gabungan baret merah (1e para compagnie) dan baret hijau (Korps Speciaale Troepen) yang pernah menjadi kebanggaan Belanda, karena “berjasa” menduduki Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta.

Namun bagi Westerling dan anak buahnya yang tertangkap, ceritanya belum berhenti di sini. Westerling sendiri masih membuat pusing pimpinan Belanda, baik sipil mau pun militer di Jakarta. Dia merencanakan untuk lari ke Singapura, di mana dia dapat memperoleh bantuan dari teman-temannya orang Tionghoa. Maka dia kemudian menghubungi relasinya di Staf Umum Tentara Belanda di Jakarta.

Sejak kegagalan tanggal 23 Januari, Westerling bersembunyi di Jakarta, dan mendatangkan isteri dan anak-anaknya ke Jakarta. Dia selalu berpindah-pindah tempat, antara lain di Kebon Sirih 62 a, pada keluarga de Nijs.

Pada 8 Februari 1950 isteri Westerling menemui Mayor Jenderal van Langen, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf, di rumah kediamannya. Isteri Westerling menyampaikan kepada van Langen mengenai situasi yang dihadapi oleh suaminya. Hari itu juga van Langen menghubungi Jenderal Buurman van Vreeden, Hirschfeld dan Mr. W.H. Andreae Fockema, Sekretaris Negara Kabinet Belanda yang juga sedang berada di Jakarta. Pokok pembicaraannya adalah masalah penyelamatan Westerling, yang di mata banyak orang Belanda adalah seorang pahlawan.

Dengan perbincangan tersebut akhirnya mempertimbangkan antara lain untuk membawa Westerling ke Papua Barat. Namun sehari setelah itu, pada 9 Februari Hatta menyatakan, bahwa apabila pihak Belanda berhasil menangkap Westerling, pihak Republik akan mengajukan tuntutan agar Westerling diserahkan kepada pihak Indonesia. Hirschfeld melihat bahwa mereka tidak mungkin menolong Westerling karena apabila hal ini terungkap, akan sangat memalukan Pemerintah Belanda. Oleh karena itu ia menyampaikan kepada pimpinan militer Belanda untuk mengurungkan rencana menyelamatkan Weterling.

Namun tanpa sepengetahuan Hirschfeld, pada 10 Februari Mayor Jenderal van Langen memerintahkan Kepala Intelijen Staf Umum, Mayor F. van der Veen untuk menghubungi Westerling dan menyusun perencanaan untuk pelariannya dari Indonesia. Dengan bantuan Letkol Borghouts -pengganti Westerling sebagai komandan pasukan elit KST- pada 16 Februari di mess perwira tempat kediaman Ajudan KL H.J. van Bessem di Kebon Sirih 66 berlangsung pertemuan dengan Westerling, di mana Westerling saat itu bersembunyi. Borghouts melaporkan pertemuan tersebut kepada Letkol KNIL Pereira, perwira pada Staf Umum, yang kemudian meneruskan hasil pertemuan ini kepada Mayor Jenderal van Langen.

Westerling pindah tempat persembunyian lagi dan menumpang selama beberapa hari di tempat Sersan Mayor KNIL L.A. Savalle, yang kemudian melaporkan kepada Mayor van der Veen. Van der Veen sendiri kemudian melapor kepada Jenderal van Langen dan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima tertinggi Tentara Belanda. Dan selanjutnya, Van Vreeden sendiri yang menyampaikan perkembangan ini kepada Sekretaris Negara Andreae Fockema. Dengan demikian, kecuali Hirschfeld, Komisaris Tinggi Belanda, seluruh jajaran tertinggi Belanda yang ada di Jakarta –baik militer maupun sipil- mengetahui dan ikut terlibat dalam konspirasi menyembunyikan Westerling dan rencana pelariannya dari Indonesia. Andreae Fockema menyatakan, bahwa dia akan mengambil alih seluruh tanggungjawab.

Pada 17 Februari Letkol Borghouts dan Mayor van der Veen ditugaskan untuk menyusun rencana evakuasi. Disiapkan rencana untuk membawa Westerling keluar Indonesia dengan pesawat Catalina milik Marineluchtvaartdienst – MLD (Dinas Penerbangan Angkatan Laut) yang berada di bawah wewenang Vice Admiral J.W. Kist. Rencana ini disetujui oleh van Langen dan hari itu juga Westerling diberitahu mengenai rencana ini. Van der Veen membicarakan rincian lebih lanjut dengan van Langen mengenai kebutuhan uang, perahu karet dan paspor palsu. Pada 18 Februari van Langen menyampaikan hal ini kepada Jenderal van Vreeden.

Van der Veen menghubungi Kapten (Laut) P. Vroon, Kepala MLD dan menyampaikan rencana tersebut. Vroon menyampaikan kepada Admiral Kist, bahwa ada permintaan dari pihak KNIL untuk menggunakan Catalina untuk suatu tugas khusus. Kist memberi persetujuannya, walau pun saat itu dia tidak diberi tahu penggunaan sesungguhnya. Jenderal van Langen dalam suratnya kepada Admiral Kist hanya menjelaskan, bahwa diperlukan satu pesawat Catalina untuk kunjungan seorang perwira tinggi ke kepulauan Riau. Tak sepatah kata pun mengenai Westerling.

Kerja selanjutnya sangat mudah. Membeli dolar senilai f 10.000,- di pasar gelap; mencari perahu karet; membuat paspor palsu di kantor Komisaris Tinggi (tanpa laporan resmi). Nama yang tertera dalam paspor adalah Willem Ruitenbeek, lahir di Manila.

Pada hari Rabu tanggal 22 Februari, satu bulan setelah “kudeta” yang gagal, Westerling yang mengenakan seragam Sersan KNIL, dijemput oleh van der Veen dan dibawa dengan mobil ke pangkalan MLD di pelabuhan Tanjung Priok. Westerling hanya membawa dua tas yang kelihatan berat. Van der Veen menduga isinya adalah perhiasan.

Kabar konspirasi ini ternyata terendus pula oleh pihak RIS. Sehingga akhirnya pada Kamis, 23 Februari 1950, pukul 10 pagi Letnan Sanjoto yang mendapat informasi bahwa Westerling berada di Pelabuhan II Tanjung Priok menugasi Letnan Kusuma dan Letnan Supardi menangkap Westerling hidup atau mati. Pukul 19.00 mereka mengendarai jip Willys, mendatangi Westerling. Rencananya, mereka akan mengajak ngobrol sebentar, lalu Supardi menembak Westerling, dan Kusuma meledakkan granat.

Aksi tak berjalan sesuai skenario. Sebelum rencana terlaksana, Westerling malah menghampiri mereka, mengajak minum bir. Mereka tak kuasa menolak. Tapi tugas tetap dilaksanakan kedua letnan itu mengatakan kepada Westerling bahwa ia diharap datang ke markas Tanjung Priok sebentar.

Mereka berangkat dengan kendaraan masing-masing. Di tengah perjalanan Westerling dan anak buahnya memberondong mobil Kusuma dan Supardi hingga terbalik dan merekapun luka. Mayor Brentel Susilo dan Letnan J.C. Princen, yang menguntit jejak Westerling, ganti mengejarnya.

Tapi terlambat, hari itu juga Westerling terbang ke Singapura dengan pesawat Catalina yang dipersiapkan sebelumnya di Tanjung Pinang yang kemudian terbang menuju Singapura. Mereka tiba di perairan Singapura menjelang petang hari. Kira-kira satu kilometer dari pantai Singapura pesawat mendarat di laut dan kemudian perjalanan Westerling dilanjutkannya sendiri dengan menggunkan perahu karet.

Namun malangnya perahu karet yang westerling kendarai ternyata bocor dan banyak kemasukan air, hal ini sontak membuatnya panik. Beruntung dia diselamatkan oleh satu kapal penangkap ikan Cina yang membawanya ke Singapura. Setibanya di Singapura, dia segera menghubungi temanTionghoanya Chia Piet Kay, yang pernah membantu ketika membeli persenjataan untuk Gerakan Pao An Tui di Sulawesi dulu. Kemudian Diapun segera membuat perencanaan untuk kembali ke Indonesia.

Namun pada 26 Februari 1950 ketika berada di tempat Chia Piet Kay, Westerling digerebeg dan ditangkap oleh polisi Inggris kemudian dijebloskan ke penjara Changi. Rupanya, pada 20 Februari ketika Westerling masih di Jakarta, Laming, seorang dari Reuters, mengirim telegram ke London dan memberitakan bahwa Westerling dalam perjalanan menuju Singapura, untuk kemudian akan melanjutkan ke Eropa. Pada 24 Februari Agence Presse, Kantor Berita Perancis yang pertama kali memberitakan bahwa Westerling telah dibawa oleh militer Belanda dengan pesawat Catalina dari MLD ke Singapura. Setelah itu pemberitaan mengenai pelarian Westerling ke Singapura muncul di majalah mingguan Amerika, Life.

Pemberitaan di media massa tentu sangat memukul dan memalukan pimpinan sipil dan militer Belanda di Indonesia. Kabinet RIS membanjiri Komisaris Tinggi Belanda Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan. Hirschfeld sendiri semula tidak mempercayai berita media massa tersebut, sedangkan Jenderal Buurman van Vreeden dan Jenderal van Langen mula-mula menyangkal bahwa mereka mengetahui mengenai bantuan pimpinan militer Belanda kepada Westerling untuk melarikan diri dari Indonesia ke Singapura. Keesokan harinya, tanggal 25 Februari Hirschfeld baru menyadari, bahwa semua pemberitaan itu betul dan ternyata hanya dia dan Admiral Kist yang tidak diberitahu oleh van Vreeden, van Langen dan Fockema mengenai adanya konspirasi Belanda untuk menyelamatkan Westerling dari penagkapan oleh pihak Indonesia.

Fockema segera menyatakan bahwa dialah yang bertanggung- jawab dan menyampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat, bahwa Hirschfeld sama sekali tidak mengetahui mengenai hal ini. Menurut sinyalemen Moor, sejak skandal yang sangat memalukan Pemerintah Belanda tersebut terbongkar, hubungan antara Hirschfeld dengan pimpinan tertinggi militer Belanda di Indonesia mencapai titik nol.

Pemerintah Indonesia pada akhirnya bertindak tegas, sehingga pada 5 April 1950 Sultan Hamid II pun mengalami nasib yang sama dengan Westerling ia ditangkap atas tuduhan terlibat dalam “kudeta” Westerling bulan Januari 1950.

Sedangkan Pada 7, 8, 10 dan 11 Juli 1950 dilakukan sidang Mahkamah Militer terhadap 124 anggota pasukan RST yang ditahan di pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Pada 12 Juli dijatuhkan keputusan yang menyatakan semua bersalah. Namun sebagian besar hanya dikenakan hukuman yang ringan, yaitu 10 bulan potong tahanan, beberapa orang dijatuhi hukuman 11 atau 12 bulan, satu orang hanya terhukum 6 bulan dan hanya Titaley yang diganjar 1 tahun 8 bulan. Dengan demikian tidak ada yang mengajukan banding.

Hukuman yang sangat ringan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Militer Belanda terhadap tentara Belanda yang telah membantai 94 anggota TNI, termasuk Letkol Lembong, menunjukkan, bahwa Belanda tidak pernah menilai tinggi nyawa orang Indonesia. Setelah berakhirnya Perang Dunia II di Eropa, tentara Jerman yang terbukti membunuh orang atau tawanan yang tidak berdaya dijatuhi hukuman yang sangat berat, dan bahkan para perwira yang memerintahkan pembunuhan, dijatuhi hukuman mati.

Sementara itu, setelah mendengar bahwa Westerling telah ditangkap oleh Polisi Inggris di Singapura, Pemerintah RIS segera mengajukan permintaan kepada otoritas di Singapura agar Westerling diekstradisi ke Indonesia. Pada 15 Agustus 1950, dalam sidang Pengadilan Tinggi di Singapura, Hakim Evans memutuskan, bahwa Westerling sebagai warganegara Belanda tidak dapat diekstradisi ke Indonesia.

Sebelumnya, sidang kabinet Belanda pada 7 Agustus telah memutuskan, bahwa setibanya di Belanda, Westerling akan segera ditahan. Pada 21 Agustus, Westerling meninggalkan Singapura sebagai orang bebas dengan menumpang pesawat Australia Quantas dan ditemani oleh Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag, seorang pendukung Westerling.

Westerling sendiri ternyata tidak langsung dibawa ke Belanda di mana dia akan segera ditahan, namun –dengan izin van der Gaag- dia turun di Brussel, Belgia. Dia segera dikunjungi oleh wakil-wakil orang Ambon dari Den Haag, yang mendirikan Stichting Door de Eeuwen Trouw – DDET (Yayasan Kesetiaan Abadi). Mereka merencanakan untuk kembali ke Maluku untuk menggerakkan pemberontakan di sana. Di negeri Belanda sendiri secara in absentia Westerling menjadi orang yang paling disanjung.

Awal April 1952, secara diam-diam Westerling masuk ke Belanda. Namun keberadaannya tidak dapat disembunyikan dan segera diketahui, dan pada 16 April Westerling ditangkap di rumah Graaf A.S.H. van Rechteren. Mendengar berita penangkapan Westerling di Belanda, pada 12 Mei 1952 Komisaris Tinggi Indonesia di Belanda Susanto meminta agar Westerling diekstradisi ke Indonesia, namun ditolak oleh Pemerintah Belanda, dan bahkan sehari setelah permintaan ekstradisi itu, pada 13 Mei Westerling dibebaskan dari tahanan. Puncak pelecehan Belanda terhadap bangsa Indonesia terlihat pada keputusan Mahkamah Agung Belanda pada 31 Oktober 1952, yang menyatakan bahwa Westerling adalah warganegara Belanda sehingga tidak akan diekstradisi ke Indonesia.

Setelah keluar dari tahanan, Westerling sering diminta untuk berbicara dalam berbagai pertemuan, yang selalu dipadati pemujanya. Dalam satu pertemuan dia ditanya, mengapa Sukarno tidak ditembak saja. Westerling menjawab “Orang Belanda sangat perhitungan, satu peluru harganya 35 sen, Sukarno harganya tidak sampai 5 sen, berarti rugi 30 sen yang tak dapat dipertanggungjawabkan.”

Beberapa hari kemudian, Komisaris Tinggi Indonesia memprotes kepada kabinet Belanda atas penghinaan tersebut. Pada 17 Desember 1954 Westerling dipanggil menghadap pejabat kehakiman di Amsterdam di mana disampaikan kepadanya, bahwa pemeriksaan telah berakhir dan tidak terdapat alasan untuk pengusutan lebih lanjut. Pada 4 Januari 1955 Westerling menerima pernyataan tersebut secara tertulis.

Dengan demikian, bagi orang Belanda pembantaian ribuan rakyat di Selawesi Selatan tidak dinilai sebagai pelanggaran HAM, juga “kudeta’ APRA pimpinan Westerling tidak dipandang sebagai suatu pelanggaran atau pemberontakan terhadap satu negara yang berdaulat.

Westerling kemudian menulis dua buku, yaitu otobiografinya Memoires yang terbit tahun 1952, dan De Eenling yang terbit tahun 1982. Buku Memoires diterjemahkan ke bahasa Prancis, Jerman dan Inggris. Edisi bahasa Inggris berjudul Challenge to Terror sangat laku dijual dan menjadi panduan untuk counter insurgency dalam literatur strategi pertempuran bagi negara-negara Eropa untuk menindas pemberontakan di negara-negara jajahan mereka di Asia dan Afrika.

Kemudian bagaimana dengan nasib KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger)? Berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun, atau KNIL dinyatakan dibubarkan. Berdasarkan hasil keputusan Konferensi Meja Bundar, mantan tentara KNIL yang ingin masuk ke TNI harus diterima dengan pangkat yang sama. Beberapa dari mereka kemudian di tahun 70-an mencapai pangkat Jenderal Mayor TNI!

Westerling Mati Sebagai Warga Sipil Belanda

Di tahun 1958, kini Westerling hidup sebagai warga normal di Belanda dan dianggap sebagai pahlawan disana. Tapi Westerling mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri sebagai warga sipil dan merakyat kepada penduduk Belanda lainnya.Untuk berjuang hidup Ia pernah membuka toko penjual buku-buku antik tentang Indonesia dan Hindia Belanda. Ia juga pernah menjadi penerbit, pemilik pabrik kursi taman dan akhirnya menjadi penyanyi opera.

Tapi ketika itu Westerling pun nyaris terjun ke kancah perang lagi. Ia sempat membuat dua memorandum yang isinya mendorong agar Eropa (termasuk Belanda) berperang menghadapi Vietkong. Namun sayangnya memorandum itu tak ada yang menanggapi, hilang begitu saja.

Menjelang perebutan Da Nang, Juli 1965, seseorang menghubunginya, menawarinya melatih pasukan Vietkong. Kabarnya, Westerling hampir berangkat bila tidak dicegah pemerintah Belanda.

Westerling memang khas tentara bayaran. Ia tampaknya tak pernah berpikir untuk siapa dan untuk apa dia menembak. Hingga saat-saat terakhirnya, sejauh diketahui, Westerling belum pernah mengaku bersalah atas terornya di Indonesia. Yang dilakukannya, katanya, adalah melindungi rakyat.

Westerling menulis buku keduanya yang berjudul “De Eenling” (Sang Penyendiri) pada tahun 1982 dan kemudian tutup usia pada tahun 1987 di Purmerend, Belanda pada umur 68 tahun karena sakit jantung. Si jagoan Kaptein de Turk (julukannya karena ia berdarah Turki) akhirnya ‘ditaklukkan’ bukan di medan perang, tapi di medan ilmu. Sejarawan De Jong melalui bukunya membuka kembali masa lalu De Turk, dan membuat penyakit jantungnya kambuh. Tapi ada juga yang mengatakan ia meninggal karena minum-minuman keras, dan bunuh diri tak kuat menahan sakit.

Sumber:
dari berbagai sumber
lihat juga di blog wordpress saya

0 komentar

Posting Komentar

Iklan

Search and download it!

Berita terkini

wibiya widget