Kategori

agama (3) artikel (4) bandung (6) indonesia (4) informasi (7) jurnalisme (2) know (13) Lowongan (3)
Let Me Tell
free counters

Rabu, 27 Januari 2010

Saung Angklung Mang Udjo



Siapa tak kenal angklung sekarang? Seni alat musik khas Jawa Barat ini pasti dapat dikenali langsung oleh banyak orang, bahkan tak hanya oleh masyarakat Jawa Barat seantero Nusantara hingga berbagai Negara pun tentu mengenali ke khasan alat musik yang seluruhnya murni terbuat dari beberapa bilah bambu yang di bentuk dengan unik ini.

Angklung yang khas ini tak pernah bisa terlupakan dari benak masyarakat tatar sunda, nada-nadanya yang indah selalu mengingatkan para rantauan sunda mengingat Bandung. Kini angklungpun sedang bersaing dengan budaya modern yang serba elektronik. Maka untuk menyelamatkan angklung agar tak tergerus oleh liarnya peradaban modern, lahirlah Saung Angklung Mang Udjo. Seni Parahyangan ini memang harus dilestarikan dan diselamatkan agar budaya kita dapat dikenali oleh semua orang yang tak hanya dari masyarakat Jawa Barat saja.

Saung Mang Udjo yang sekarang menjadi salah satu andalan pariwisata Bandung ini, sejak dulu memang mempunyai komitmen yang tinggi dalam mengangkat seni budaya Bandung, khususnya angklung. Padepokan seni angklung ini yang didirikan oleh Udjo Ngalagena dan istrinya Uum Sumiati sudah 44 tahun lamanya sejak tahun 1966 berdiri menjadi sebuah sanggar angklung.

Apabila menengok kedalam saung suguhan pepohonan hijau banyak menghiasi, rindang dedaunan hijaunya memberikan kenyamanan yang begitu asri, banyak pohon-pohon bambu yang dengan riangnya memberikan esensi yang khas akan lingkungan sunda yang sangat lekat. Riuh-riuh lantunan sunda kian asik menggiring pikiran mebayangkan budaya sunda dahulu kala. Saung Angklung Mang Udjo menghadirkan betapa dahsatnya aura seni sebuah nada yang dibunyikan oleh angklung.

Banyak sekali pertunjukan yang di gelar pada sanggar yang kini berubah menjadi semacam gedung pertunjukan. Banyak anak yang menari melengak-lenggok kesana kemari menarikan tarian sunda ditemani oleh iring-iringan lagu “Tokecang” dan “Cis Kacang Buncis”, mereka sedang memperagakan “kaulinan barudak”. Ya, tak hanya seni angklung saja yang ada di Saungnya Mang Udjo ini tetapi permainan daerah pun ikut diangkat demi menjaga keunikan dan kelestariannya supaya barudak (anak-anak) sunda tidak melupakannya begitu saja.

Keceriaan barudak yang sedang bermain permainan daerah itu senantiasa hidup selalu meramaikan suasana kampung angklung. Aktifitas mereka merupakan ruh dari Saung Angklung Udjo, sejak berdirinya sanggar sunda ini proses regenerasi seni tradisi dilakukan dengan cara bermain sambil belajar. Di setiap sudut, senyuman dan sapaan anak-anak selalu menemani ketika mengenal suasana Saung Angklung Udjo.

Hamparan musik yang ditampilkan pada pertunjukan angklung sunda pun tak hanya melagukan lagu-lagu daerah tetapi lagu nasional karya Ismail Marzuki pun bisa di mainkan dengan khidmat para pemain angklung. Mang Udjo murid Daeng Soetigna sang Bapak Angklung Dunia ini memberikan banyak perubahan pada kesenian angklung sehingga tak hanya bisa dimainkan untuk musik daerah yang diatonis tapi juga bisa dimainkan untuk berbagai macam lagu. Dan tak hanya itu berbagai kesenian lain dari sunda pun ikut di pertontonkan kepada para turis asing maupun domestik, seperti wayang golek yang dimainkan secara apik dan meyenangkan walaupun dengan waktu yang tak begitu lama, pertunjukan angklung Helaran, serta Arumba (Alunan Rumpun Bambu).

Helaran, kalau anda tahu merupakan sebuah pertunjukan angklung yang dimainkan pada upacara khitanan dan panen padi. Dimainkan dengan nada yang riang untuk menghibur anak yang dikhitan atau merupakan suatu bentuk syukur pada Sang Pencipta atas segala kebesaran-Nya.

Pertunjukan bambu petang yasng rajin digelar pada pukul 15.30 hingga 17.30 ikut meramaikan suasana kehidupan seni di Saung Udjo. Banyak wisatawan yang terhibur mulai dari kalangan tua dan muda, baik domestik maupun turis luar negeri. Banyak turis dari Negeri kincir angin yang bernostalgia disana, mengingat-ingat kenangan ketika dulu di Indonesia.

Tak Cukup sampai disitu, para pengunjung tak hanya di suguhi tontonan-tontonan kesenian saja tapi mereka pun ikut berinteraksi dengan para pemain. Diajaknya mereka menari dan mendendangkan lagu yang di ikuti oleh arahan dari semacam dirijen ketika berupacara. Gelak tawa sering kali terjadi ketika mereka mencoba mendendangkan sebuah not lagu, anak-anak pasundan yang riang ikut membimbing ketika mereka menari dan
bergoyang.

0 komentar

Posting Komentar

Iklan

Search and download it!

Berita terkini

wibiya widget